Sore itu, gerimis sedikit membasahi bumi. Para petani sudah kembali pulang ke rumah masing-masing, para nelayan baru berangkat untuk memeriksa pukat yang mereka pasang di hulu sungai, beberapa pedagang memutuskan untuk menutup kios-kiosnya, anakanak sudah pergi ke surau untuk mengaji. Di gang-gang kecil yang basah karena gerimis, Siti Aminah berlari sekuat tenaga.
Napasnya tersengal, sudah berkali-kali ia nyaris terpeleset di jalanan tanah yang licin. Tangannya menggenggam erat selembar kertas yang telah basah oleh keringat—sepucuk surat yang ditulisnya semalaman suntuk untuk Sultan Aji Muhammad Parikesit.
“Kejar dia! Jangan biarkan gadis itu lolos!”
Dua orang jawara bertubuh sebesar beruang, bergerak cepat mengobrak-abrik jalanan dengan langkah berat dan keras. Mereka berdua adalah jawara suruhan Demang Karim, yang memang ditugaskan untuk menangkap Siti Aminah. Perempuan lokal yang menulis surat untuk Sang Sultan tentang perampasan lahan milik ayah ibunya oleh pejabat setempat.
Siti Aminah menahan air matanya yang sudah tumpah sejak tadi, bercampur dengan tetesan gerimis hujan di senja yang gelap. Bagaimana pun ia harus berhasil membawa surat ini ke tangan Sultan. Jika tidak, keluarganya akan benar-benar kehilangan segalanya. Tanah yang telah diwarisi turun-temurun sejak datuk ninik, yang menjadi sumber penghidupan mereka selama ini, telah dirampas oleh Demang Karim atas nama pemerintah kolonial.
Bukan mereka tidak melawan dan membela diri. Tapi ayahnya dipukuli hingga tidak bisa berjalan oleh para tentara Hindia Belanda, kakak laki-lakinya dibawa pergi entah kemana dengan kapal menuju Samarinda—mungkin di paksa jadi kuli angkut di pelabuhan, ibu dan adik perempuannya hanya bisa menangis memelas kasihan dari meneer meneer yang menonton dengan tatapan jijik kepada pribumi.
Siti Aminah sengaja memilih berlari menyusuri gang-gang kecil. Karena ia tidak ingin menarik perhatian lebih dari orang-orang. Karena meskipun tidak seramai Samarinda yang menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan utama atau Balikpapan yang dikelola langsung oleh pemerintah kolonial untuk industri minyak. Tenggarong tetap ramai pengunjung dan orang-orang Belanda karena disinilah ibu kota Kesultanan Kartanegara ing Martadipura berdiri, tempat tinggal Sang Sultan penguasa tertinggi Kalimantan Timur. Wilayah dari Residentie Zuid- en Oost-Borneo yang oleh para tentara Hindia Belanda biasa disebut Afdeeling Koetai yang ada di bawah pengawasan Asisten Residen, yang berkedudukan di Samarinda.
Sultan Aji Muhammad Parikesit masih bertakhta, tetapi tahtanya telah dilingkari bayang-bayang kolonial. Belanda mengatur segalanya dari balik tirai birokrasi, sementara para penjabat pribumi memilih berbisik di dua telinga—satu untuk rakyat, satu untuk penjajah. Demang Karim adalah salah satunya. Ia tidak melayani mahkota, ia melayani kepentingannya sendiri.
Ketika seorang Kontrolir Belanda menginginkan ladang tebu di tepian Mahakam, Demang Karim menjual sesuatu yang bukan miliknya—tanah rakyat, tempat mereka berpijak, tempat mereka berdoa. Protes tidak lagi berarti, mereka yang menolak, dipukul, diasingkan, atau menghilang dalam sunyi. Tidak ada suara yang bisa menembus tembok istana. Tak ada keluhan yang bisa sampai ke telinga Sultan.
Orang-orangnya telah dibeli, kebenaran telah dibungkam dengan setumpuk kertas gulden. Siapa yang berani melawan akan menjadi bayang-bayang yang lenyap di tepian sungai—atau lebih buruk lagi, menjadi santapan anjing penjaga tentara kolonial.
Tentu saja karena itu tidak ada satu pun orang yang berani mengadu. Orang-orang yang dirampas tanahnya hanya bisa menerima nasib, namun tidak dengan Siti Aminah. Ia adalah gadis terpintar di desa, ia bisa menulis, membaca, dan berhitung. Saat ia mencuri dengar pembicaraan dua tentara Belanda sedang berjaga tentang Sang Sultan yang tidak tahu berita perampasan tanah—jangan tanya bagaimana Siti Aminah mengerti bahasa Belanda, ia adalah gadis terpintar di desa, maka dengan semangat berapi-api Siti Aminah menulis surat semalam suntuk di samping pelita yang terbuat dari getah damar. Ketika sang ibu bertanya apa yang ia tulis, Siti Aminah hanya menjawab pendek bahwa ini surat untuk Sang Sultan.
“Jangan harap aku menyerah!” seru Siti Aminah menyelinap di antara pohon-pohon ketela milik warga.
“Tangkap gadis itu, jika kalian gagal maka kalian berdua yang akan menggantikannya menjadi makanan anjing-anjing penjaga!” teriak seorang pria
Meski berbadan kecil dan kurus, Siti Aminah juga gadis terkuat dan tercepat di desa. Ia selalu mengalahkan pemuda desa dalam lomba-lomba lari, memotong kayu, dan mencangkul. Meski napasnya tersengal-sengal tapi tak sedikit pun ia merasa lelah, ia hanya butuh lebih banyak udara untuk membuat kaki dan jantungnya tetap kuat bekerja menghindari kejaran para jawara. Di sisi lain, para jawara yang mendapatkan ancaman mulai memutar otak alih-alih mengandalkan otot, mereka salah telah meremehkan gadis terkuat dan tercepat di desa hanya karena badan kurus kerempengnya.
Siti Aminah berbelok ke gang kecil di belakang pasar, berharap bisa bersembunyi di antara pedagang. Bau amis ikan dan harumnya rempah-rempah bercampur di udara, menciptakan perpaduan bau yang aneh dan khas. Namun seketika langkah kaki Siti Aminah terhenti, coba mengerem tapi berakhir gagal membuatnya jatuh telentang di atas jalanan yang becek dengan sedikit campuran tahi ayam. Seorang jawara bertubuh besar itu sudah berdiri, menunggunya dengan senyuman lebar.
Jebakan!
Ia coba berdiri dan berbalik untuk mencoba kabur tapi tangan kasar mencengkeram kerudung hitamnya dari belakang. Lagi, untuk kedua kalinya Siti Aminah terhuyung dan jatuh ke tanah yang becek. Kali ini jelas ia bisa mencium bau tahi ayam di antara bau rempah dan amis ikan. Dengan susah payah ia mengangkat tangan kirinya yang menggenggam surat untuk Sang Sultan agar tidak terkena percikan lumpur. Sementara itu tangan kanannya menahan tangan si jawara yang ingin mencekiknya. Tapi nyatanya lagi, sang jawara berhasil dikalahkan Siti Aminah dengan satu tendangan di tulang kering, sukses membuat jawara itu melolong kesakitan dan lolongannya semakin keras saat Siti Aminah yang juga adalah gadis paling buas dan liar di desa, sedang mengigit lengan besar sang jawara.
Sial! gadis ini gila. Pikir sang jawara sesaat setelah Siti Aminah melepas gigitannya dan berlari menuju jalan utama. Hatinya berdebar-debar saat melihat sekumpulan orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ia memutuskan untuk berhenti menelusuri labirin gang dan berniat menyelinap di antara orang-orang di jalan. Tapi bajunya yang penuh lumpur dan bau, membuatnya mudah ditemukan oleh jawara lainnya yang tersisa.
Siti Aminah sendiri berdoa dalam hati, semoga dalam pelariannya ini ia berpapasan dengan para prajurit kesultanan yang sedang berpatroli. Namun lain yang diharap, lain pula yang didapatkan, jelas sepertinya hari ini lagi-lagi Siti Aminah sedang sial, karena ia adalah gadis paling sial di desa. Pasukan Hindia Belanda sedang berbaris hendak kembali pulang ke Samarinda, dan di antara para pasukan itu ada Demang Karim yang mengikuti Sang Kontrolir seperti seekor anjing yang setia menjilat sepatu majikannya.
“Duh! Saya kenapa ya sial terus!” keluh Siti Aminah yang sudah tak peduli, berlari kencang menuju istana Sang Sultan yang ada di ujung jalan.
Demang Karim yang melihat kejar mengejar itu tentu saja geram. Ia memerintah para prajurit untuk ikut mengejar Siti Aminah. Para prajurit Hindia Belanda yang sudah berbaris rapi tadi tentu saja dalam hati menolak, terlebih yang memerintah adalah seorang pribumi. Tapi pangkat dan jabatan Demang Karim lebih tinggi dari mereka yang hanya prajurit bayaran. Akhirnya mereka bergabung dengan para jawara dalam aksi kejar-kejaran antara prajurit dan jawara kolonial melawan seorang gadis kecil kurus, Siti Aminah sang pelari tercepat di desa.
Meski begitu, Siti Aminah juga dikenal sebagai gadis paling ceroboh di desa. Karena terlalu fokus dalam kejar-kejaran, ia tidak sadar menabrak seorang gadis penjual bunga yang sedang menjajakan dagangannya pada sekumpulan noni noni yang memakai gaun lebar beraneka warna dengan rambut pirang nan indah mereka yang di sanggul, menampakan leher jenjang yang mulus dan bersih, serta tubuh yang terus mengeluarkan aroma wangi lavender dan lidah buaya. Sangat kontras dengan Siti Aminah yang saat ini penuh noda lumpur berbau tahi ayam dan basah oleh gerimis yang semakin deras.
“Ah, maaf… maaf,” seru Siti Aminah cepat membantu sang gadis penjual bunga yang dagangannya jatuh berhamburan di atas tanah berbatu.
Kelopak-kelopak bunga mawar habis berterbangan terbawa angin senja, kertas-kertas putih pembungkus bunga pun terbang ke sana kemari. Dengan panik Siti Aminah berusaha menggapai kertas-kertas yang berterbangan, serta memunguti bunga-bunga mawar lalu menaruhnya serampangan di keranjang kecil milik sang penjual bunga yang terbuat dari rotan.
Para tentara dan jawara pun telah mendekat, menyisakan jarak beberapa puluh langkah. Siti Aminah membantu si gadis penjual bunga untuk berdiri, saat sang gadis menatap sedih pada bunga-bungannya yang rusak. Noni noni yang sedari tadi berkumpul memutuskan untuk membubarkan diri, selain tak tahan dengan aroma tahi ayam dari Siti Aminah, mereka juga tidak ingin berurusan dengan para tentara yang suka merayu mereka, para tentara yang berharap bisa menghabiskan waktu meski semalam dengan gadis-gadis cantik dari negeri sendiri.
“Maafkan aku adik, dagangan mu sampai tercerai berai seperti ini, aku tidak bisa menggantinya dengan uang, tapi akan ku gantikan dengan kemenangan kita orang-orang kecil begitu surat ini sampai dihadapan Sultan, aku berjanji kita akan menang!” ucap Siti Aminah sambil menyambar secarik kertas yang ia letakkan di atas keranjang bunga.
Siti Aminah berdiri, lalu sedikit membungkuk memberi hormat pada seorang noni yang masih berdiri dengan setia disana. Menonton segala hal yang terjadi dihadapannya dengan senyuman kecil. Noni itu mungkin seumuran, atau bisa jadi jauh lebih tua beberapa tahun darinya pikir Siti Aminah. Jika saja perang dan penjajahan tidak terjadi, mungkin Siti Aminah bisa bersahabat dengannya, karena tidak ada seorang pun yang tahu bahwa ia sebenarnya adalah gadis paling kesepian di desa. Karena, itu pertama kalinya Siti Aminah mendapatkan tatapan yang hangat dan tulus dari sepasang mata berwarna biru para Belanda yang biasanya menatap jijik pada orang-orang pribumi, seakan-akan mereka hanyalah seekor kera.
Setelah memberikan hormat dengan sopan, karena ia adalah gadis paling sopan di desa. Siti Aminah kembali meluncur melanjutkan misi yang tertunda, kertas putih di tangan kirinya berkibar-kibar seakan-akan bendera kemenangan atas perang besar yang lama tak selesai. Orang-orang yang melihatnya berlari diikuti para tentara dan jawara yang tertinggal jauh dibelakangnya menatap gadis itu dengan heran. Siti Aminah terus berteriak dan sesekali melompat-lompat saat ujung atap istana mulai terlihat di ujung sana.
“Menang!”
“Kita akan menang!”
“Kita takkan terusir dari tanah kita sendiri!”
Siti Aminah terus berteriak kegirangan, seakan-akan ia adalah pemimpin parade para prajurit yang memenangkan perang. Tentara dan jawara dibelakangnya mulai ikut berteriak, teriak marah dan kesal karena mereka tidak bisa menandingi kecepatan gadis yang paling cepat di desa.
Prajurti kesultanan sendiri tampak bingung dan waspada saat Siti Aminah mendekat, terlebih lagi dibelakangnya para tentara Hindia Belanda dan jawara mantan preman pasar ikut berlari mengejarnya.
“Kakak! Kau harus sampaikan surat ini pada Baginda Sultan!” teriak Siti Aminah dihadapan seorang prajurit kesultanan yang berbadan tegap.
"Surat? Siapa kau? Dan, kenapa para tentara Hindia Belanda serta jawara pasar mengejarmu?” tanya si prajurit dengan nada bingung dan penuh waspada.
“Saya seorang gadis kecil dari hulu sungai yang hendak mengadu pada Baginda Sultan Aji Muhammad Parikesit, tentang tanah warisan datuk ninik kami yang dirampas oleh pejabat korup yang hobi menjilat sepatu tentara Belanda,” jawabnya sambil membungkuk dengan sangat sopan.
“Prajurit kesultanan, tolong serahkan gadis itu pada kami,” seru salah satu jawara saat mereka akhirnya berhasil menyusul.
“Atas dasar apa kau berani memerintahku, wahai preman pasar? Aku tidak akan menyerahkan gadis ini karena ia adalah salah satu rakyat Kesultanan Kertanegara ing Martadipura, tugasku sebagai prajurit adalah melindungi rakyat dari orang-orang jahat,” prajurit itu maju tepat di depan hidung sang jawara sambil menghunuskan parang panjangnya. “Hanya Baginda Sultan, keturunan, dan keluarga kesultanan yang boleh memerintahku, jaga lidahmu baik-baik orang rendahan, atau kau akan bisu untuk selamanya.”
Siti Aminah bersorak gembira penuh kemenangan, misinya telah tercapai, tanah, rumah, dan ladang mereka akan baik-baik saja.
Prajurit itu menyerahkan kertas surat Siti Aminah itu kepada prajurit lain, “tolong berikan surat ini kepada Baginda Sultan.”
“Kau yakin? Ini kan hanya secarik kertas bertuliskan Toko Bunga Tenggarong Seberang,” jawab prajurit itu keheranan.
“Serahkan saja, sampaikan jika surat ini datang dari seorang gadis hulu sungai yang tanahnya dirampas oleh seorang pejabat korup.”
Akhirnya dengan terpaksa prajurit muda itu hanya bisa mengikuti perintah atasannya, ia masuk ke dalam istana untuk menyerahkan surat untuk Sang Sultan. Surat yang bertuliskan Toko Bunga Tenggarong Seberang dengan motif dan gambar-gambar aneka bunga.
Siti Aminah telah menang, suratnya telah sampai, berita yang ingin ia sampaikan pada Baginda Sultan pun telah tiba dengan selamat sampai ke tujuan. Ia menangis penuh haru, perjalanannya selama tiga belas hari nyatanya tidak sia-sia, segala harapan keluarga dan seisi desa yang mereka bebankan pada pundaknya berhasil ia wujudkan. Hari ini Siti Aminah kembali menjadi gadis paling bahagia di desa.
Sementara itu setelah para tentara dan jawara habis berlalu mengejar Siti Aminah. Noni cantik itu menujuk salah satu bunga mawar yang ada di keranjang gadis penjual bunga.
“Mawar itu satu, tolong bungkuskan,” ucapnya dengan suara lembut, sangat lembut dan menawan hati serta telinga siapa pun yang mendengarnya.
Segera gadis penjual bunga tadi membungkus mawar pilihan sang noni dengan kertas pembungkus yang ada di dalam keranjang lalu menyerahkan bunga itu pada gadis cantik dengan payung merah mudanya sore itu.
Dengan senyuman manis, gadis Belanda itu menerima bunga tadi lalu menghirupnya dalam-dalam. Membiarkan aroma mawar memenuhi seluruh rongga hidung dan paruparunya. Merasa puas dengan wangi sang bunga, gadis itu merogoh kantung belanjaannya dan memberikan sekeping gulden perak pada gadis penjual bunga.
“Nona, ini terlalu banyak, harga bunga mawar itu hanya 5 sen,” seru sang gadis penjual bunga sambil merogoh kantung gaunnya yang kotor untuk mencari uang kembalian.
“Tidak perlu, ambil saja kembaliannya untuk mu. Gadis tadi mengatakan bahwa ia akan membayar dengan berita kemenangan bukan? Jika begitu aku akan membayar semua bunga yang kau jual dengan uang,” jawabnya sambil berlalu pergi saat delman datang berhenti di hadapannya.
Seorang meneer keluar menghampirinya dengan wajah penuh sesal dan gelisah.
“Maafkan aku terlambat datang Alamanda,” ucap sang pria dengan nada lembut penuh cinta pada gadis cantik itu.
Keduanya lalu naik ke atas delman dan berjalan pulang, dan di dalam delman, Alamanda membuka bungkus bunganya dengan santai. Ia hampir membuang kertas itu, tetapi mata biru indahnya tertarik pada tulisan tangan yang tak kalah indahnya dengan tulisan para penulis terkemuka di Eropa.
Alamanda mulai membaca.
Keningnya berkerut. Kata-kata dalam surat itu begitu indah namun menyayat hati dan terasa begitu menyedihkan penuh keputusasaan. Alamanda tersenyum kecil, memuji sang penulis untuk puisi indah yang penuh kemelaratan ini. Harusnya ia memberikan 50 gulden untuk karya sastra luar biasa seperti ini, Siti Aminah nama sang penulis ada di ujung kertas. Ia sang maestro, sang seniman sastra luar biasa. Tentu saja Alamanda tidak tahu jika Siti Aminah adalah penulis, penyair, dan seniman terbaik di desanya.
Namun, semakin ia menatap tulisan itu lama-lama. Ada sesuatu yang samar menggelitik dadanya, entah kenapa ia merasa kata-kata itu terlalu hidup, terlalu nyata. Tapi ia menepis perasaan itu dengan cepat.
Begitulah seni. Sebuah tragedi yang tak perlu diubah, cukup dikagumi dari jauh.
Alamanda tersenyum, menyimpan kertas itu dalam kantung gaunnya. Kelak ia membawa kertas itu kembali pulang ke negerinya yang ada di belahan lain bumi. Mewariskannya pada lima anak dan delapan belas cucu, sebuah mahakarya yang tercipta dari kesengsaraan, kemelaratan, dan penindasan. Dan setiap kali cucu-cucunya bertanya dari mana karya indah ini berasal, Alamanda akan selalu menjawab.
“Itu sebuah surat dari Tenggarong.”
SELESAI
0 Komentar