Header Ads Widget

Responsive Advertisement

BERPIKIR ITU MENULAR: BAGAIMANA LINGKARAN SOSIAL MEMBENTUK POLA PIKIR KITA

 

Penulis; Reza Beeg



        Sering kali kita menganggap bahwa cara berpikir yang kita miliki merupakan hasil dari proses refleksi pribadi yang mandiri. Kita percaya bahwa pendapat kita lahir dari pemikiran bebas dan nalar yang jernih. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai buah pikiran sendiri sesungguhnya merupakan hasil penyerapan terus-menerus dari lingkungan di sekitar kita.

Manusia merupakan makhluk yang menyerap. Kita tidak hanya belajar dari pendidikan formal, melainkan juga dari interaksi sehari-hari dari percakapan, kebiasaan, hingga nilai yang dianut oleh orang-orang di sekitar kita. Dalam proses itu, kita menyerap cara orang lain berpikir, menilai suatu peristiwa, menyusun argumen, hingga memaknai kehidupan.

Oleh sebab itu, lingkungan sosial memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk cara kita berpikir. Jika kita tidak selektif terhadap siapa yang mengisi ruang sosial kita, maka tanpa sadar kita membiarkan pola pikir kita dibentuk oleh pengaruh yang tidak selalu positif.

Setiap percakapan bukan hanya sekadar pertukaran kata-kata, melainkan juga media transmisi nilai dan cara pandang. Ketika kita berbicara dengan seseorang, kita tidak hanya memahami isi ucapannya, tetapi juga menyerap cara ia memandang dunia.

Apabila kita terbiasa berada dalam lingkungan yang hanya memperbincangkan hal-hal dangkal tanpa dorongan untuk berpikir kritis, maka pola pikir kita pun akan terbentuk serupa dangkal dan reaktif. Dalam lingkungan seperti itu, kedangkalan menjadi hal yang dianggap lumrah.

Lingkaran sosial sejatinya merupakan lingkaran epistemik, yakni ruang tempat kita membentuk pemahaman, menyusun keyakinan, dan mengasah nalar. Dari siapa kita mendengar, kepada siapa kita berbicara, dan dengan siapa kita berdiskusi semua itu secara perlahan membentuk fondasi cara kita melihat dunia.

Jika kita dikelilingi oleh individu yang gemar berpikir kritis, terbuka terhadap pandangan berbeda, dan tidak takut untuk mempertanyakan hal-hal yang dianggap “pasti”, maka kita pun akan terdorong untuk berkembang. Sebaliknya, jika lingkungan kita enggan berpikir mendalam dan cepat merasa cukup dengan pemahaman seadanya, maka kita pun akan ikut terperangkap dalam pola pikir sempit.

Memiliki teman yang baik hati tentu penting. Namun, untuk bertumbuh secara intelektual, kita memerlukan lebih dari sekadar kebaikan. Kita perlu berada di tengah lingkungan yang mampu menstimulus pikiran, menantang keyakinan kita, dan mendorong kita untuk terus belajar.

Pertumbuhan intelektual tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari ketidaknyamanan yang produktif. Dari diskusi yang menggugah, dari pertanyaan yang belum terjawab, serta dari pertemanan yang mengajak kita berpikir ulang dan memperluas cakrawala berpikir.

Setiap hari, kita terus-menerus terpapar oleh informasi, percakapan, media sosial, dan interaksi sosial. Semua paparan itu memengaruhi cara kita berpikir, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memilih secara selektif dan sadar serta bertanggung jawab atas apa yang kita konsumsi.

Bergaullah tidak hanya dengan orang-orang yang menyenangkan secara emosional, tetapi juga dengan mereka yang mampu mengasah akal. Pilihlah lingkungan yang memelihara pemikiran yang sehat, jernih, dan reflektif. Sebab pada akhirnya, kita adalah hasil dari apa yang kita serap. Dan pikiran yang baik hanya tumbuh dalam lingkungan yang mendukung pertumbuhan nalar.

Posting Komentar

0 Komentar