Mahasiswa sekarang sudah tidak sekritis dulu, sebab konsumsi sejarah dan sastra sudah dianggap sepele bagi mereka.
Pernyataan yang dilontarkan seseorang kepadaku beberapa bulan lalu, terus saja mengusik kepalaku di setiap waktu. Untuk mencari kebenaran dari argumentasi itu, aku sering berdiskusi dengan berbagai macam manusia hampir setiap harinya. Lalu suatu insiden mempertemukanku dengan sebuah buku yang di dalamnya berisi jawaban dari pertanyaan yang selalu kupikirkan. Buku dengan sampul wajah seorang sastrawan yang dikelilingi oleh warna merah dengan tebal 212 halaman tak mampu kuhabiskan dengan sekali atau tiga kali duduk, butuh waktu lama untuk memahami isinya. Buku yang dibuka dengan kalimat "Rakyat harus tahu sejarahnya" (maxim Gorky) Karya Eka Kurniawan, dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis menjawab segala lika-liku pikiranku yang belum terselesaikan seluruh dinamika di dalamnya.
Buku karya Eka Kurniawan ini menjadi buku yang menarik untuk dibahas apa lagi terkhusus untuk kaum muda saat ini. Sebab, hubungan antara Pramoedya dan aliran Sastra Realisme Sosialis ini menjadi cikal-bakal lahirnya masyarakat yang kritis dengan berbagai polemik yang terjadi saat itu. Paham Realisme Sosialis pertama kali muncul di Rusia, dengan Maxim Gorky yang dikenal sebagai Bapaknya Realisme Sosialis pada saat itu, bahkan menciptakan beberapa karya yang di dalamnya memuat berbagai isu sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Dari situlah Pramoedya mengenal aliran Realisme Sosialis dengan membaca karya-karya milik Maxim Gorky, sehingga pemikiran dan ideologinya terbangun dengan banyaknya konsumsi karya para penganut aliran tersebut. Adil sejak dalam pikiran menjadi kalimat yang begitu terkenal milik Pramoedya yang menggambarkan bagaimana keseriusannya untuk membela para kaum yang ditindas.
Penulis menceritakan tentang bagaimana tulisan-tulisan milik Pramoedya selalu membahas tentang kemanusiaan dan perlawanan oleh mereka yang menindas. Bahkan dalam masa hidupnya, dirinya telah tiga kali masuk penjara oleh tiga pemerintahan yang berbeda karena tulisan-tulisannya yang selalu membahas tentang kemanusiaan dan kritikan pedas kepada pemerintah saat itu. Dengan tulisan-tulisannyalah, beberapa gerakan yang muncul akibat karya-karya miliknya muncul. Bahkan sebelum insiden 98, kaum muda sering kali mengadakan diskusi membahas tentang karya-karyanya Pram. Namun saat itu karya-karyanya sangat dilarang untuk beredar. Aku menyukai pembahasan pada Bab 5. Eka menjabarkan bagaimana pandangan Pram terhadap Karya sastra itu sendiri, bahkan dirinya mengaitkan antara Sastra dan politik. Keterkaitan politik dalam sastra menjadi kontrovesi saat itu, sehingga Pram menjelaskan mengapa Sastra harus menyentil tentang politik itu sendiri sehingga rakyat tidak buta terhadap politik. Sebab, ideologi yang dibawa oleh Pram di dalam tulisan-tulisannya selalu saja membahas tentang roman sosial, moral kemanusiaan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan manusia dan dinamika di dalamnya. Sehingga Sebagian besar karya miliknya dijadikan sebagai sandaran untuk membahas mengenai pergerakan yang mengatasnamakan kemanusiaan dan penindasan.
Mengapa buku ini penting untuk dibahas lebih khususnya kaum muda? karena dalam buku tersebut tidak hanya membahas mengenai sastra saja, melainkan perjalanan sejarah Indonesia dengan berbagai polemik di dalamnya. Pram mengemukakan bahwa keterkaitan antara sastra dan isu sosial harus dipadukan. Maka dari itu, aku ingin menekankan bahwa buku ini tidak terkhusus hanya kepada kelompok atau kaum muda jurusan sastra saja, melainkan untuk khalayak umum. Adil sejak dalam pikiran adalah kalimat yang paling aku sukai dari berbagai kata-kata yang dikeluarkan oleh Pram. Sehingga menurutku Buku ini sangat penting untuk sekarang ini. Beberapa insiden memperlihatkan bahwa pemerintah terus saja membungkam dan menurunkan kritis masyarakat hanya untuk melanggengkan kekuasaannya. Kaum mudalah yang harus melek terhadap segala isu yang terjadi. Sehingga penting untuk kita mengetahui sejarah yang ada dengan cara mendekatkan diri dengan karya-karya sastra yang di dalamnya membahas tentang sejarah dan problematik sosial dari masa ke masa.
Aku ingin menyinggung antara perbedaan mengenai kritis sosial Mahasiswa dahulu dan sekarang. Pernyataan awal menjawab semuanya, bahwa Mahasiswa atau kaum muda saat ini tidak terlalu melek dalam membahas isu sosial yang muncul belakangan ini, disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap sejarah dan sastra. Tidak seperti kaum muda yang dulu. Seharusnya kaum muda mampu menjabarkan pemikiran-pemikiran kritis kepada pemerintahan terkait isu yang terus saja menjadi perbincangan hangat. Kaum muda saat ini sangatlah beruntung. Ketika mengkritik suatu isu tidak langsung dihilangkan seperti halnya kejadian saat orde baru, tentu kita dilindungi oleh kebebasan berbicara sebagaimana bentuk negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Maka dari itu, jangan pernah takut untuk selalu kritis terhadap sebuah isu yang tidak searah dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak rakyat.
Tulisan ini aku persembahkan untuk eyang pram yang telah 100 tahun meninggalkan jejak kehidupan raganya. Namun, karya-karya beliau akan tetap abadi bahkan hingga seribu tahun lagi. Terima kasih kepada pak eka yang telah menyuguhkan sebuah buku yang membuka jalan pikiranku, bahwa hidup bukan hanya sekadar hidup jika tak memandangi sebuah estetika kehidupan melalui sastra dan sejarah.
1 Komentar
Keren bang, g jadi minder stlah baca tulisan ini. Sebab kmrin sempat ada yg menyinggung "g prlu kritik pemerintah itu urusan anak-anak hukum" seolah di luar dari itu tidak pantas untuk mengkritik, td pantas bicara politik. Pdhal dgn membaca sastra sja sdah mmpu mempertajam analisis politik dan menambah mahfum betapa negeri ini butuh diperbaiki. Tpi td heran krna itu bentuk dari terkikisnya daya kritis mahasiswa hari ini
BalasHapus