Namun, jika dilihat dari realitas
yang ada, kebanyakan organisasi mahasiswa yang kita lihat ternyata tidak seideal yang
digambarkan seperti prinsip organisasi di atas. Alih-alih, menjadi wadah untuk
mempermudah tercapainya tujuan dari setiap anggota yang ada di dalamnya, justru organisasi menjadi wadah untuk penundukan yang dilakukan oleh para senior yang
menduduki hierarki
teratas di organisasi, kepada mahasiswa yang baru saja masuk dalam organisasi tersebut. Bukan hanya
itu, setiap anggota baru juga harus mengikuti setiap aturan yang
dibuat oleh organisasi—walaupun aturan tersebut tidak sinkron dengan tujuannya
ketika mengikuti organisasi.
Ada dua faktor yang memengaruhi fenomena senioritas, seperti: hak kuasa untuk menjalankan organisasi tidak sama antara senior dan junior, budaya dengan cara menekan secara psikis yang dilakukan para senior terhadap junior berdampak pada gangguan mental dan timbulnya rasa takut yang terjadi pada junior (Rinaldi 2019). Dengan situasi tersebut, akan muncul “atmosfer” yang tidak sehat terhadap lingkungan organisasi.
Situasi hierarki timpang dan praktik
senioritas ini, menciptakan berbagai dampak negatif dalam organisasi mahasiswa.
Pertama, hal ini menghambat perkembangan potensi individu yang baru bergabung.
Alih-alih merasa didukung untuk mengembangkan kemampuan, para anggota baru
sering kali merasa tertekan oleh aturan atau perlakuan yang tidak relevan
dengan tujuan organisasi. Akibatnya, semangat kolaborasi yang menjadi inti
organisasi tergantikan oleh pola hubungan yang bersifat subordinatif.
Kedua, fungsi organisasi sebagai
wadah belajar bersama dan kepemimpinan menjadi terdistorsi. Para junior, yang
seharusnya dilatih menjadi pemimpin masa depan, malah lebih banyak diarahkan
untuk menjadi "pengikut" tanpa adanya ruang untuk menyuarakan ide-ide
mereka. Ini memperkuat budaya ketergantungan, sehingga organisasi sulit untuk
menghasilkan kader yang inovatif dan berani mengambil keputusan.
Dampak lain yang tak kalah
signifikan adalah munculnya krisis kepercayaan terhadap organisasi mahasiswa
itu sendiri. Anggota baru yang merasa teralienasi akibat tekanan atau dominasi
senior cenderung kehilangan motivasi untuk aktif berkontribusi. Beberapa bahkan
memilih untuk keluar dari organisasi atau menjadi apatis terhadap tujuan-tujuan
organisasi tersebut. Krisis ini bukan hanya memengaruhi individu, tetapi juga
merugikan organisasi secara keseluruhan, karena tidak lagi mampu mempertahankan
regenerasi yang sehat.
Dengan
demikian, untuk mengatasi hierarki kekuasaan yang timpang ini, diperlukan upaya
perbaikan budaya organisasi mahasiswa. Salah satu langkah awal adalah
memperkenalkan mekanisme yang menjamin distribusi kuasa lebih merata, misalnya
melalui pembentukan sistem kepemimpinan yang kolektif. Selain itu, perlu ada
pendidikan nilai-nilai kolegalitas dan empati yang ditekankan dalam proses
kaderisasi, sehingga interaksi antara senior dan junior lebih berorientasi pada
pembelajaran bersama daripada dominasi.
Organisasi juga harus membuka ruang dialog yang inklusif, di mana setiap anggota—baik senior maupun junior—memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut. Dengan menciptakan budaya organisasi yang sehat, bukan hanya produktivitas dan daya tarik organisasi yang akan meningkat, tetapi juga kualitas kader yang dihasilkan untuk masa depan.
0 Komentar