Header Ads Widget

Responsive Advertisement

HIERARKI KEKUASAAN YANG TIMPANG; RUNTUHNYA FUNGSI ORGANISASI MAHASISWA

 

Penulis; Dandi Rahman


     Organisasi secara umum pada prinsipnya adalah sebuah alat agar bisa tercapainya tujuan-tujuan individu yang menjadi anggota dalam suatu organisasi, agar setiap individu dengan mudah untuk meraih apa yang ia tuju ketika bekerja sama dengan orang lain yang memiliki visi dan misi yang sama dengannya. Maka dari itu, pada proses perumusan tujuan organisasi, seyogyanya mampu mewakili dari kepentingan setiap individu yang terlibat dalam organisasi tersebut.


      Namun, jika dilihat dari realitas yang ada, kebanyakan organisasi mahasiswa yang kita lihat ternyata tidak seideal yang digambarkan seperti prinsip organisasi di atas. Alih-alih, menjadi wadah untuk mempermudah tercapainya tujuan dari setiap anggota yang ada di dalamnya, justru organisasi menjadi wadah untuk penundukan yang dilakukan oleh para senior yang menduduki hierarki teratas di organisasi, kepada mahasiswa yang baru saja masuk dalam organisasi tersebut. Bukan hanya itu, setiap anggota baru juga harus mengikuti setiap aturan yang dibuat oleh organisasi—walaupun aturan tersebut tidak sinkron dengan tujuannya ketika mengikuti organisasi.

    Ada dua faktor yang memengaruhi fenomena senioritas, seperti: hak kuasa untuk menjalankan organisasi tidak sama antara senior dan junior, budaya dengan cara menekan secara psikis yang dilakukan para senior terhadap junior berdampak pada gangguan mental dan timbulnya rasa takut yang terjadi pada junior (Rinaldi 2019). Dengan situasi tersebut, akan muncul “atmosfer” yang tidak sehat terhadap lingkungan organisasi.

    Situasi hierarki timpang dan praktik senioritas ini, menciptakan berbagai dampak negatif dalam organisasi mahasiswa. Pertama, hal ini menghambat perkembangan potensi individu yang baru bergabung. Alih-alih merasa didukung untuk mengembangkan kemampuan, para anggota baru sering kali merasa tertekan oleh aturan atau perlakuan yang tidak relevan dengan tujuan organisasi. Akibatnya, semangat kolaborasi yang menjadi inti organisasi tergantikan oleh pola hubungan yang bersifat subordinatif.

    Kedua, fungsi organisasi sebagai wadah belajar bersama dan kepemimpinan menjadi terdistorsi. Para junior, yang seharusnya dilatih menjadi pemimpin masa depan, malah lebih banyak diarahkan untuk menjadi "pengikut" tanpa adanya ruang untuk menyuarakan ide-ide mereka. Ini memperkuat budaya ketergantungan, sehingga organisasi sulit untuk menghasilkan kader yang inovatif dan berani mengambil keputusan.

   Dampak lain yang tak kalah signifikan adalah munculnya krisis kepercayaan terhadap organisasi mahasiswa itu sendiri. Anggota baru yang merasa teralienasi akibat tekanan atau dominasi senior cenderung kehilangan motivasi untuk aktif berkontribusi. Beberapa bahkan memilih untuk keluar dari organisasi atau menjadi apatis terhadap tujuan-tujuan organisasi tersebut. Krisis ini bukan hanya memengaruhi individu, tetapi juga merugikan organisasi secara keseluruhan, karena tidak lagi mampu mempertahankan regenerasi yang sehat.

 Dengan demikian, untuk mengatasi hierarki kekuasaan yang timpang ini, diperlukan upaya perbaikan budaya organisasi mahasiswa. Salah satu langkah awal adalah memperkenalkan mekanisme yang menjamin distribusi kuasa lebih merata, misalnya melalui pembentukan sistem kepemimpinan yang kolektif. Selain itu, perlu ada pendidikan nilai-nilai kolegalitas dan empati yang ditekankan dalam proses kaderisasi, sehingga interaksi antara senior dan junior lebih berorientasi pada pembelajaran bersama daripada dominasi.

 Organisasi juga harus membuka ruang dialog yang inklusif, di mana setiap anggota—baik senior maupun junior—memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut. Dengan menciptakan budaya organisasi yang sehat, bukan hanya produktivitas dan daya tarik organisasi yang akan meningkat, tetapi juga kualitas kader yang dihasilkan untuk masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar