Makan Hati, bukan Makan Siang
Rupiah jatuh, katanya sih hal
biasa,
"Ekonomi
global," alasan yang udah kayak template. Tapi uang bulanan langsung jadi
hal mistis,
Ada, tapi gak bisa dipake.
Makan siang jadi pilihan berat:
Antara
lauk atau kuota.
Harga
naik, tapi beasiswa diem aja,
Kayak
gebetan yang cuma read doang.
Kelas ekonomi bahas inflasi dan moneter,
Tapi
dompet kami justru yang jadi studi kasus.
Dosen
cerita soal pertumbuhan nasional,
Kami
mikir: "Nasi kucing bisa tumbuh gak ya jadi dua porsi?"
Demo naik, uang saku turun,
Tapi
pemerintah minta kita tetap optimis.
Katanya anak muda harus jadi agen perubahan, Tapi kiriman
telat, terus disuruh revolusi?
Mau ngopi? Harus diskusi dulu sama kantong,
Pilih
kopi atau ongkos ke kampus besok.
Harga
boba sekarang kayak cicilan motor,
Tapi
gaji magang masih dibayar pake “pengalaman berharga.”
Jadi kalau rupiah makin turun,
Jangan
heran kalau mahasiswa makin satir.
Karena
hidup ini udah terlalu absurd,
Dan
kita cuma mau bertahan… plus dapet nasi gratis.
Pers Bebas…. S&K Berlaku
Jurnalis asing datang, bawa kamera
dan pena,
Mau meliput negeri demokratis
penuh harmoni dan cinta. Tapi eh, tunggu dulu! Ada prosedur yang harus ditaati,
Harus izin dulu ke aparat, biar berita tetap terkendali.
Katanya ini sekadar
administrasi,
Biar
tertib, biar rapi, biar aman bagi negeri.
Tapi
kalau yang diliput mulai bikin risih,
Jangan
heran kalau izin dipersulit.
Mau liput soal ketimpangan? Oh, tunggu sebentar,
Ada "pertimbangan keamanan," jadi maaf, tidak
bisa disebar. Mau wawancara korban pelanggaran HAM?
Hati-hati, bisa-bisa dicap penyebar hoaks dan propaganda
asing kejam.
Pers bebas? Oh, tentu saja!
Bebas
melaporkan, selama tetap sesuai arahan.
Bebas menulis, selama isinya tak bikin petinggi kepanasan.
Bebas bertanya, selama pertanyaannya sudah disaring sebelumnya.
Jadi silakan liput, silakan bertanya,
Asal
tak lupa, kebenaran di sini ada batasannya.
Kalau
masih ngeyel, maaf kami cabut visa nya.
Resep Adu Domba: 10/10
Negeri
ini katanya demokrasi, tapi lebih mirip pentas sandiwara,
Janji manis dipampang,
tapi
kenyataan hanyut di antara kata-kata kosong.
Yang
bertanya dianggap ancaman, yang meronta dianggap penghianat,
Sementara para pemimpin berpesta,
menari di atas tumpukan harapan yang hilang.
Harga melambung,
sementara telinga kita disuguhkan janji stabilitas,
Yang miskin makin melarat,
tapi TV sibuk menunjukkan senyum palsu,
Mahasiswa
yang mencoba bersuara disudutkan,
Karena mereka berani mengingatkan bahwa negeri ini
tak pernah cukup kaya untuk
semua.
Mereka kirim ormas dengan pentungan dan bendera,
"Ini bukan tentang keadilan, ini tentang
kontrol," katanya,
sambil menikmati makan malam
Rakyat
disuruh diam,
dijanjikan
ketenangan yang hanya ada di layar kaca,
Sementara pejabat mengeruk
semua yang bisa
dijual dengan harga murah,
Media sosial jadi medan perang,
kata-kata jadi senjata,
Narasi
diputarbalikkan, yang benar jadi salah, yang salah dipuja.
“Mahasiswa hanya ikut-ikutan,” kata mereka sambil menghisap
udara segar,
Sementara
yang mereka makan
adalah uang
pajak yang dicuri dengan senyum termanis.
Ketika rakyat dan mahasiswa mulai beradu kata,
Di balik meja-meja besar,
mereka tertawa,
“Biarkan mereka ribut,
biar kami terus mengatur,”
Sebab bagi mereka, hukum hanya soal
siapa yang punya kekuatan,
dan
rakyat hanyalah debu yang bisa disapu kapan saja.
Inilah negeri kita—di mana suara rakyat
hanya dihargai ketika sudah kehabisan napas,
Yang lapar disuruh sabar,
yang marah disuruh
tenang,
Yang menuntut keadilan dianggap ancaman,
Sementara mereka yang berkuasa
terus menari di atas penderitaan
yang tak terlihat.
0 Komentar