Header Ads Widget

Responsive Advertisement

RESEP ADU DOMBA: 10/10


Penulis; Khairy Daffa





Makan Hati, bukan Makan Siang 

 

Rupiah jatuh, katanya sih hal biasa, 

"Ekonomi global," alasan yang udah kayak template. Tapi uang bulanan langsung jadi hal mistis, 

Ada, tapi gak bisa dipake. 

Makan siang jadi pilihan berat: 

Antara lauk atau kuota. 

Harga naik, tapi beasiswa diem aja, 

Kayak gebetan yang cuma read doang. 

Kelas ekonomi bahas inflasi dan moneter, 

Tapi dompet kami justru yang jadi studi kasus. 

Dosen cerita soal pertumbuhan nasional, 

Kami mikir: "Nasi kucing bisa tumbuh gak ya jadi dua porsi?" 

Demo naik, uang saku turun, 

Tapi pemerintah minta kita tetap optimis. 

Katanya anak muda harus jadi agen perubahan, Tapi kiriman telat, terus disuruh revolusi? 

Mau ngopi? Harus diskusi dulu sama kantong, 

Pilih kopi atau ongkos ke kampus besok. 

Harga boba sekarang kayak cicilan motor, 

Tapi gaji magang masih dibayar pake “pengalaman berharga.” 

Jadi kalau rupiah makin turun, 

Jangan heran kalau mahasiswa makin satir. 

Karena hidup ini udah terlalu absurd, 

Dan kita cuma mau bertahan… plus dapet nasi gratis.

 

 

 

Pers Bebas…. S&K Berlaku 

 

Jurnalis asing datang, bawa kamera dan pena, 

Mau meliput negeri demokratis penuh harmoni dan cinta. Tapi eh, tunggu dulu! Ada prosedur yang harus ditaati, Harus izin dulu ke aparat, biar berita tetap terkendali. 

Katanya ini sekadar administrasi, 

Biar tertib, biar rapi, biar aman bagi negeri. 

Tapi kalau yang diliput mulai bikin risih, 

Jangan heran kalau izin dipersulit. 

Mau liput soal ketimpangan? Oh, tunggu sebentar, 

Ada "pertimbangan keamanan," jadi maaf, tidak bisa disebar. Mau wawancara korban pelanggaran HAM? 

Hati-hati, bisa-bisa dicap penyebar hoaks dan propaganda asing kejam. 

Pers bebas? Oh, tentu saja! 

Bebas melaporkan, selama tetap sesuai arahan. 

Bebas menulis, selama isinya tak bikin petinggi kepanasan. Bebas bertanya, selama pertanyaannya sudah disaring sebelumnya. 

Jadi silakan liput, silakan bertanya, 

Asal tak lupa, kebenaran di sini ada batasannya. 

Kalau masih ngeyel, maaf kami cabut visa nya.

 

 

 

Resep Adu Domba: 10/10 

 

Negeri ini katanya demokrasi, tapi lebih mirip pentas sandiwara,  

Janji manis dipampang,

tapi kenyataan hanyut di antara kata-kata kosong. 

Yang bertanya dianggap ancaman, yang meronta dianggap penghianat,
Sementara para pemimpin berpesta,
menari di atas tumpukan harapan yang hilang. 

Harga melambung,
sementara telinga kita disuguhkan janji stabilitas,  

Yang miskin makin melarat,
tapi TV sibuk menunjukkan senyum palsu,

Mahasiswa yang mencoba bersuara disudutkan,  

Karena mereka berani mengingatkan bahwa negeri ini

tak pernah cukup kaya untuk semua. 

Mereka kirim ormas dengan pentungan dan bendera, 

"Ini bukan tentang keadilan, ini tentang kontrol," katanya,
sambil menikmati makan malam

Rakyat disuruh diam,

                       dijanjikan ketenangan yang hanya ada di layar kaca,
            Sementara pejabat mengeruk semua yang bisa
dijual dengan harga murah,  

Media sosial jadi medan perang, kata-kata jadi senjata, 

Narasi diputarbalikkan, yang benar jadi salah, yang salah dipuja.  

“Mahasiswa hanya ikut-ikutan,” kata mereka sambil menghisap udara segar,

Sementara yang mereka makan

adalah uang pajak yang dicuri dengan senyum termanis. 

Ketika rakyat dan mahasiswa mulai beradu kata,  

Di balik meja-meja besar,

            mereka tertawa,

                        “Biarkan mereka ribut, biar kami terus mengatur,”

            Sebab bagi mereka, hukum hanya soal siapa yang punya kekuatan,  

dan rakyat hanyalah debu yang bisa disapu kapan saja. 

Inilah negeri kita—di mana suara rakyat
hanya dihargai ketika sudah kehabisan napas,
Yang lapar disuruh sabar,
            yang marah disuruh tenang,  

                        Yang menuntut keadilan dianggap ancaman, 

           Sementara mereka yang berkuasa

terus menari di atas penderitaan yang tak terlihat.






Posting Komentar

0 Komentar