Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Siapin Mental Ketika Lebaran, Sebab Tema Pembicaraan Selalu Berbeda.

 

Penulis: Winda Minti


            Umur 22 menuju 23 tahun membuat saya terkejut betapa lucunya kehidupan orang-orang dewasa. Dulu, ketika teman-teman saya membuat postingan di sosial media, yang berisikan betapa frustasinya mereka ketika ditanyakan, "kapan lulus?", "kapan wisuda?", "kerja di mana?", "kapan nikah?" dan berbagai pertanyaan serupa. Yang menurut saya, itu tinggal dijawab saja dengan mudah. Tidak perlu dilebih-lebihkan hingga membuat kesal, geram dan mendadak badmood. Sayangnya, ketika merasakan secara langsung, saya ikut naik darah.

 

            Dua tahun silam, saya sering dibombardir oleh pertanyaan, "kapan lulus?" atau ... "kapan wisuda?". Saat itu, kalau bukan senyum sebagai jawaban, saya selalu beralibi dengan kata "insyaallah". Walau kadang terasa nyelekit di hati, tapi tetap saja saya tidak bisa apa-apa. Menyadari bahwa itu fase yang harus saya lewati. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus menikmati dan menjalaninya dengan suka cita. Pun, ketika dibanding-bandingkan dengan rekan sekampung yang telah lulus lebih dulu, saya hanya perlu tersenyum karir. Sembari berdoa, semoga Tuhan mempermudah jalan saya.

 

            Setahun setelahnya, saya baru selesai seminar proposal. Dengan besar hati, saya keliling kampung ketika lebaran Idulfitri. Selain sebagai tradisi turun-temurun, saya merasa bahwa saya telah punya pegangan menjawab pertanyaan di tahun sebelumnya. Sebab, saat itu saya sudah punya pekerjaan di dua tempat yang bisa saya banggakan. Sayangnya, pertanyaan "kapan lulus" tidak saya temukan saat itu, melainkan pembicaraan bahwa beberapa rekan yang memang saya kenal sudah lulus jadi PNS, PPPK, TNI dan Polri. Saya mendadak diam, kelu, dan bisu.

 

                Tahun setelahnya, saya berhasil wisuda, namun pertanyaan ikut berbeda. Bukan lagi, "kapan wisuda?" tapi berubah menjadi, "sudah kerja di mana?”, "belum ngajar juga?", "sudah coba daftar PNS?", dan yang paling akhir adalah, "jangan pilih-pilih kerjaan". Padahal, saat itu saya baru saja melakukan kegiatan maaf-maafan. Alhasil, kata maaf ingin saya tarik kembali, dan memaafkan tidak ingin saya lakukan. Keadaan yang sedang menganggur, semakin mendramatis isi hati. Bahkan, tidak ditanyapun, saya sudah melakukan hal-hal serupa. Dan dengan penuh keyakinan, saya rasa ribuan orang di luar sana juga telah melakukan berbagai usaha. Lagi-lagi, saya tersenyum karir. Menampilkan wajah palsu dengan isi hati yang remak remuk.

 

            Saya jadi ingat salah satu konten Tiktok yang FYP di beranda, yang menampilkan seorang pemuda dengan sengaja memakai pakaian Korpri ketika lebaran. Di caption, ia menjelaskan pakaian tersebut ia gunakan sebagai bentuk balas dendam oleh orang-orang yang selalu menanyakan soal pekerjaan.  Lucunya, ribuan komentar memenuhi konten tersebut. Mendukung penuh aksi si 'Pemuda Korpri'. Lucunya lagi, saya pun, ikut mendukung. Tidak hanya itu, saya juga teringat oleh salah satu rekan yang selalu meminta tolong untuk dicarikan pasangan. Awalnya, saya menolak mentah-mentah. Merasa bahwa itu sekadar kelakar. Namun, ketika menyadari bahwa ia sudah dititik frustasi dan berbagai pertanyaan "kapan nikah" di umur yang sudah mapan, membuat saya turut prihatin padanya. Alhasil, saya malah kepikiran bagaimana caranya membantu rekan saya untuk segera mendapat pasangan.

 

            Dari hal-hal tersebut, saya menyadari, alasan kenapa banyak orang-orang yang tidak lagi excited ketika lebaran. Banyak orang-orang yang tidak lagi bersuka ria menyiapkan pakaian baru. Banyak orang-orang yang hanya ingin berdiam diri di kamar. Sebab, isi pembicaraan selalu berbeda tiap tahunnya.

            Ketika kecil, pembicaraan melulu soal, "dapat duit berapa dari Om dan Tante?". Kini, berubah menjadi pertanyaan sederhana yang lebih baik tidak pernah ditanyakan.

Posting Komentar

0 Komentar