Umur 22 menuju 23 tahun
membuat saya terkejut betapa lucunya kehidupan orang-orang dewasa. Dulu, ketika
teman-teman saya membuat postingan di sosial media, yang berisikan betapa
frustasinya mereka ketika ditanyakan, "kapan lulus?", "kapan wisuda?",
"kerja di mana?", "kapan nikah?" dan berbagai pertanyaan
serupa. Yang menurut saya, itu tinggal dijawab
saja dengan mudah. Tidak perlu dilebih-lebihkan hingga membuat kesal, geram dan
mendadak badmood. Sayangnya, ketika merasakan secara langsung, saya ikut naik darah.
Dua tahun silam, saya sering dibombardir oleh pertanyaan,
"kapan lulus?" atau ... "kapan wisuda?". Saat itu, kalau bukan senyum sebagai
jawaban, saya selalu beralibi dengan kata "insyaallah". Walau kadang
terasa nyelekit di hati, tapi tetap saja saya tidak bisa apa-apa. Menyadari
bahwa itu fase yang harus saya lewati. Mau
tidak mau, suka tidak suka, saya harus menikmati dan menjalaninya dengan suka
cita. Pun, ketika dibanding-bandingkan dengan rekan sekampung yang telah lulus
lebih dulu, saya hanya perlu tersenyum karir. Sembari berdoa, semoga Tuhan
mempermudah jalan saya.
Setahun setelahnya, saya baru selesai seminar proposal.
Dengan besar hati, saya keliling kampung ketika lebaran Idulfitri. Selain
sebagai tradisi turun-temurun, saya merasa bahwa saya telah punya pegangan
menjawab pertanyaan di tahun sebelumnya. Sebab, saat itu saya sudah punya
pekerjaan di dua tempat yang bisa saya banggakan. Sayangnya,
pertanyaan "kapan lulus" tidak saya temukan saat itu, melainkan
pembicaraan bahwa beberapa rekan yang memang saya kenal sudah lulus jadi PNS,
PPPK, TNI dan Polri. Saya mendadak diam, kelu, dan bisu.
Tahun setelahnya, saya berhasil wisuda, namun pertanyaan
ikut berbeda. Bukan lagi, "kapan wisuda?" tapi berubah menjadi,
"sudah kerja di mana?”, "belum
ngajar juga?", "sudah coba daftar PNS?", dan yang paling akhir
adalah, "jangan pilih-pilih kerjaan". Padahal,
saat itu saya baru saja melakukan kegiatan maaf-maafan. Alhasil, kata maaf
ingin saya tarik kembali, dan memaafkan tidak ingin saya lakukan. Keadaan yang
sedang menganggur, semakin mendramatis isi hati. Bahkan, tidak ditanyapun, saya
sudah melakukan hal-hal serupa. Dan dengan penuh keyakinan, saya rasa ribuan
orang di luar sana juga telah melakukan berbagai usaha. Lagi-lagi, saya
tersenyum karir. Menampilkan wajah palsu dengan isi hati yang remak remuk.
Saya jadi ingat salah satu konten Tiktok yang FYP di
beranda, yang menampilkan seorang pemuda dengan sengaja memakai pakaian Korpri
ketika lebaran. Di caption, ia menjelaskan pakaian tersebut ia gunakan sebagai
bentuk balas dendam oleh orang-orang yang selalu menanyakan soal pekerjaan. Lucunya, ribuan komentar memenuhi konten
tersebut. Mendukung penuh aksi si 'Pemuda Korpri'. Lucunya lagi, saya pun, ikut
mendukung. Tidak hanya itu,
saya juga teringat oleh salah satu rekan yang selalu meminta tolong untuk
dicarikan pasangan. Awalnya, saya menolak mentah-mentah. Merasa bahwa itu
sekadar kelakar. Namun, ketika menyadari bahwa ia sudah dititik frustasi dan
berbagai pertanyaan "kapan nikah" di umur yang sudah mapan, membuat
saya turut prihatin padanya. Alhasil, saya malah kepikiran bagaimana caranya membantu
rekan saya untuk segera mendapat pasangan.
Dari hal-hal tersebut, saya menyadari, alasan kenapa
banyak orang-orang yang tidak lagi excited ketika lebaran. Banyak orang-orang
yang tidak lagi bersuka ria menyiapkan pakaian baru. Banyak orang-orang yang
hanya ingin berdiam diri di kamar. Sebab, isi pembicaraan selalu berbeda tiap
tahunnya.
Ketika kecil, pembicaraan melulu soal, "dapat duit berapa dari Om dan Tante?". Kini, berubah menjadi pertanyaan sederhana yang lebih baik tidak pernah ditanyakan.
0 Komentar