Setiap bentuk kekerasan, baik fisik maupun simbolik, harus dipahami dalam konteks relasi kuasa yang lebih besar. Teror kepala babi yang dialamatkan kepada redaksi Tempo dan jurnalisnya, Francisca (Cica), bukan sekadar ancaman individual, melainkan strategi sistemik untuk membungkam kritik dan menciptakan efek gentar di ruang publik.
Teror ini bukan berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari
mekanisme represif yang secara bertahap membangun atmosfer ketakutan dan
ketidakberdayaan bagi mereka yang berani mengungkap kebenaran. Dari kepala
babi, kini tikus tanpa kepala ini bukan sekadar ancaman, tetapi komunikasi
politik dari pihak yang ingin menegaskan dominasi mereka. Namun, yang lebih
berbahaya dari teror itu sendiri adalah bagaimana negara meresponsnya.
Alih-alih mengecam atau melakukan investigasi serius, Kepala Kantor Komunikasi
Kepresidenan Hasan Nasbi justru mereduksi ancaman ini menjadi lelucon.
Pernyataannya ketika dimintai keterangan terkait dengan terror kepala babi,
“Sudah dimasak saja,” bukan hanya menunjukkan sikap sinis,
tetapi juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan menggunakan humor sebagai alat
delegitimasi terhadap korban.
Ini adalah strategi klasik dalam hegemonisasi wacana, mengubah ancaman nyata menjadi bahan
candaan sehingga menghilangkan urgensi untuk
bertindak dan sekaligus melemahkan posisi korban. Dengan mengatakan bahwa Cica
bercanda soal teror itu di salah
satu platform media social.
Hasan secara tidak langsung menggeser narasi dari ancaman terhadap kebebasan
pers menjadi sekadar guyonan yang berlebihan. Lebih dari itu, respons negara ini
juga memproduksi ulang mekanisme impunitas. Jika sebuah teror dilucuti maknanya
oleh negara, maka pelaku mendapat legitimasi untuk melanjutkan aksinya. Tidak
mengherankan jika setelah kepala babi, kini muncul tikus yang dipenggal. Sebuah eskalasi yang semakin brutal,
menegaskan bahwa kekerasan bisa terus berlanjut tanpa konsekuensi.
Baca Juga; TEROR PREMANISME DAN ANCAMAN KEBEBASAN PERS YANG BANGKIT DARI MATI SURI
Dalam Paradigma Kritis Transformatif, represi bukan hanya
terjadi dalam bentuk pembungkaman langsung, tetapi juga dalam cara negara
membingkai suatu peristiwa. Negara tidak perlu secara terang-terangan mengancam
jurnalis.
Cukup dengan menciptakan atmosfer di mana
ancaman terhadap pers dianggap remeh, sehingga masyarakat pun kehilangan
kepekaan terhadap represi yang sedang berlangsung.
Kita harus membaca fenomena ini sebagai bagian dari
proses normalisasi teror dalam ruang demokrasi. Teror terhadap Tempo bukan
sekadar insiden tunggal, melainkan tanda bahwa ada kuasa yang ingin memastikan kritik
tidak lagi memiliki ruang aman.
Jika kemarin kepala babi, hari ini tikus tanpa kepala, mungkin ke depannya kepala atau tubuh manusia.
0 Komentar