DIORAMA LUKA YANG DIARSIP, SEBAB MALU-KU PADA TUHAN

Penulis: Bella Kharisma Rindiantika


TUHAN, AKU MALU

Lobi Rumah Sakit melihatku
sekitar pukul tujuh pagi,

kanan kiriku sesak—
suara derek stretcher mengganggu fokus
loket 8 tertulis: pasien khusus
aku mendaftar

tebakku,
akulah pelanggan termuda pagi itu

“silakan ke bagian rohani, ya”
kata pria berseragam hijau
terdengar formal

di depan Poli Jiwa,
pasien saraf bergerombol
menyisakan sedikit tempat antrean

aku prihatin—
Tuhan, aku malu
kemarin sempat
teriak: mati.


NORMAL, BERBOHONG

(dalam ruang tunggu, di dalam kepala)

di ruang tunggu
    aku menunduk.
        sebuah buku bertanya:
            “berapa kali kamu merasa kosong?”
        “apakah suara-suara itu masih datang?”
    “apakah kamu percaya kamu baik-baik saja?”
—sekitar 567 kali diulang

tiap tiap lembar
hanya berubah kalimat antara “jarang” dan “sering”
seakan mengajakku bercanda
kuajak ia berbincang:
tidak, tidak, ya.
dengan senyum terlatih
bahasa tubuh kupinjam dari iklan asuransi
rapi.

karena aku tahu,
rapi itu menenangkan mereka.

di dalam kepala,
ruang tunggu dunia lain menunggu antrean bicara
tapi aku diamkan
menertibkannya—tetap hening.

akhirnya
dokter tersenyum
seperti sudah hafal kalimat lanjutannya

: kamu normal.


TERSANGKA MATI

paman—
tergeletak dingin
34 menit sebelum aku tiba
lampu mati, seperti tahu jadwal
keesokan hari
pemilik bar—
tercekik di parkiran
lidah terjulur mata terbuka
seperti bicara: aku mati bukan tiba tiba

mantan pacar pemilik bar—
tubuh terpotong, koper merah muda
bercak darah menempel
bukan karena buru buru
pesannya: ingin diingat.

penyidik—
meninggalkan selembar kertas
: mereka melihat, tapi lupa membaca

teman pemilik bar
diseret dari ruang interogasi
tewas duduk, sebab terlalu jujur

satu pelaku tertangkap mati
dijadikan tersangka terakhir
“satu korban, satu kambing”

detektif
: jika ini berantai, kita semua figuran
yang belum sadar akan mati di detik sekian.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama