DRAMATURGI LOWONGAN KERJA: PANGGUNG NARASI DISKRIMINASI ANTARA USIA, ESTETIKA DAN PENGALAMAN

Penulis: Dodik Suprayogi


    Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 5 dan 6 secara gamblang menjelaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi yang diterima oleh setiap tenaga kerja, undang- undang ini secara tegas menjamin perlakuan setara bagi setiap tenaga kerja.

    Namun implementasi dari undang-undang tersebut hanyalah isapan jempol. Banyak lowongan kerja di aplikasi pencari kerja yang terang-terangan mencantumkan syarat batas usia yaitu 25 tahun dan rupawan alias good looking. Tentu, syarat ini mengabaikan prinsip kesetaraan yang selama ini didengungkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).

    Layaknya sebuah pertunjukan, fenomena ini menjadi pertaruhan nyata antara pemerintah dengan barisan para pengusaha yang ingin usahanya langgeng, terdapat tarik menarik kepentingan (war of interest). Desas-desus penghapusan batas usia dan good looking sebagai syarat lowongan kerja dinyanyikan merdu oleh pemerintah melalui kementerian ketenagakerjaan (Kemenaker) akhir- akhir ini, entah murni sebagai respon keprihatinan atau sekadar lips service. Ironinya, syarat lowongan pekerjaan yang dinilai tidak masuk akal ini justru mengemuka saat banyak perusahaan mengklaim kesusahan mencari tenaga kerja. Artinya terdapat ketimpangan nyata antara kebutuhan tenaga kerja dengan kapasitas tenaga kerja yang ada, namun bukan berarti batas usia dan rupa seseorang menjadi penentu kompetensi suatu tenaga kerja. dalam hal ini, pemerintah dan penyedia kerja bergerak mengabaikan realita kehidupan sosial yang berlaku, misalnya, lowongan pekerjaan yang membatasi usia kerja menjadi bukti dramatisasi aturan sosial yang mengekang. Dampaknya, banyak manusia dewasa yang secara psikologis menua lebih cepat dalam tatanan sosial, negatifnya manusia tersebut memiliki ruang hidup yang sempit di usia dewasa. Oleh sebab itu untuk menjelaskan fenomena ini, teori dramaturgi setidaknya mampu menggambarkan keadaan serta sebuah ironi kebijakan yang muncul dalam dunia kerja.

Teori Dramaturgi dan Pertunjukan Sosial

    Penghapusan syarat batas usia dan good loking dalam lowongan kerja oleh pemerintah menunjukkan bahwa interaksi sosial dibangun oleh pengaruh. Teori dramaturgi yang dikenalkan oleh Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menerangkan tentang bagaimana individu berperilaku dalam interaksi sosial dengan menggunakan analogi pertunjukan drama. Di sini pemerintah dan pengusaha memainkan perannya masing-masing dan saling beradu kuasa. Sedangkan masyarakat sebagai pencari kerja hanyalah objek dari kebijakan mereka.

    Dalam teori dramaturgi terdapat dua konsep utama yang saling menjelaskan yaitu konsep front stage dan back stage. Namun secara eksplisit, peran pemerintah secara jelas menimbulkan kontradiktif antara penghapusan syarat diskriminatif dengan mempertegas syarat diskriminatif di lowongan-lowongan kerja perusahaan negara. Secara tidak langsung teori ini menjelaskan “fenomena bermuka dua” yang sedang dijalankan oleh pemerintah di balik rencana penghapusan diskriminasi syarat lowongan kerja. 

Front Stage Populis

    Jika ditinjau dari panggung depan (front stage), rencana pemerintah yang ingin menghapus batas usia dalam lowongan kerja sangatlah populis dan manis. Di tengah kejengahan masyarakat terutama anak muda dalam menjalani fenomena sosial ini, pemerintah datang layaknya pahlawan yang ingin membebaskan masyarakat dari himpitan batas usia dalam lowongan kerja. Bisa jadi rencana ini sekaligus menjadi cara pemerintah untuk menghadirkan lowongan kerja untuk semua golongan usia. Meski pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sistem kerja kontrak lewat pihak ke tiga (outsourching) makin marak, isu penghapusan batas usia kerja memang hadir diwaktu yang tepat, menunjukkan sensitifitas pemerintah dengan apa yang sedang dirasakan oleh rakyatnya. Sehingga kebijakan penghapusan batas usia dalam lowongan kerja sangatlah ditunggu dalam penerapannya.

    Hal ini semakin diperkuat oleh surat edaran Menteri Tenaga Kerja (SE Menaker) nomor M/6/HK.04/V/2025 pada Rabu, 28 Mei 2025 untuk menghapus syarat batas maksimal usia kerja dan preferensi rupa dalam lowongan kerja, serupa yang sudah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur pada Surat Edaran (SE) Nomor 560/2599/012/2025 pada 2 Mei lalu. Tinggal sejauh mana kontrol pemerintah dalam penerapan SE tersebut yang berlaku di rekrutmen tenaga kerja, mari kita saksikan.

Back Stage Kontradiktif

    Di balik panggung, rupanya justru sikap pemerintah menunjukkan ketidakkonsistenan. Gembar- gembor penghapusan syarat usia dalam lowongan kerja tidak dibarengi dengan sikap gentlemen pemerintah dalam memberikan contoh melalui rekrutmen tenaga kerja di perusahaan milik negara sebut saja Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Buktinya dalam proses rekrutmen pegawai BUMN yang setiap tahunnya dilaksanakan dan informasinya terpampang di website resmi rekrutmen BUMN, syarat batas usia maksimal masih termuat jelas. Contohnya untuk pelamar lulusan pendidikan SMA/SMK batas maksimal usia adalah 25 tahun, sedangkan untuk lulusan D3 27 tahun dan S1 adalah 30 tahun. Alih-alih menghapus diskriminasi usia, justru makin mempertegas lemahnya kontrol pemerintah dalam proses rekrutmen lowongan kerja. Tidak salah jika masyarakat ragu dengan setiap kebijakan populis pemerintah, karena pemerintah sendiri selalu bersikap tidak konsisten dan tidak tunduk pada undang-undang yang ada.

    Jika pemerintah serius dalam memperbaiki tatanan sosial dalam proses rekrutmen tenaga kerja, maka seharusnya pemerintah memulainya dahulu dalam lowongan kerja pegawai BUMN atau perusahaan negara.


Terakhir

    Dramaturgi yang dipertontonkan oleh pemerintah menunjukkan sikap pemerintah yang labil dan tidak konsisten. Melalui kebijakan populis penghapusan syarat usia dan preferensi rupa dalam lowongan kerja, pemerintah cukup memukau dan perlu diapresiasi. Namun upaya populis ini justru terkesan kontradiktif jika pemerintah justru melanggengkan praktik diskriminatif dalam rekrutmen pegawai perusahaan negara yang dibatasi oleh usia.

    Jika negara tidak mampu mengontrol perusahaan yang dimilikinya, lantas bagaimana negara berperan dalam menerapkan dan mengawasi kebijakan penghapusan syarat usia kepada perusahaan-perusahaan swasta?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama