MENAFSIR MANUSIA DARI RANAH BATIN DAN SOSIAL MELALUI ALBUM KEMBARA JIWA DAN SATU SAMA LAIN SEBAGAI REPRESENTASI DINAMIKA DIRI MANUSIA

Penulis; Wahyudistira Moki
 

           Musik independen kerap dipahami sebagai ruang alternatif yang berada di luar dominasi musik berlabel dan dikekang oleh sebuah industri. Namun, lebih dari sekadar posisi produksinya di dalam dunia musik yang sangat khas, musik independen sejatinya merupakan ruang yang menyentuh sebuah kesadaran, di mana tempat kegelisahan para manusia dirawat, direnungkan, dan diartikulasikan pada setiap bait-bait lagu yang didengungkan serta mengangkat sebuah dinamika batin dan sosial yang secara umum menjadi sebuah dinamika di dalam diri manusia itu sendiri. Dalam konteks inilah beberapa lagu yang menarik saya untuk menulis sebuah opini kecil tentang lagu yang diciptakan bukan untuk mengejar esensi musik indonesia pada umumnya yang tak memiliki nilai puitis di dalamnya, pada posisi inilah sebuah album yang mengangkat kegelisahan yang dirasakan oleh makhluk hidup yang bernama manusia, di sinilah Album Kembara Jiwa karya BRAGA MGNDW dan album Satu Sama Lain karya Kapal Udara menemukan relevansinya sebagai teks budaya yang layak dibaca melalui pendekatan sastra bandingan.

            Kembara Jiwa, yang merupakan album penuh pertama BRAGA MGNDW dan dirilis pada akhir 2024 ini menghadirkan narasi perjalanan batin seorang manusia pada umur 18-30 tahun yang kita kenal dengan istilah Life quarter crisis. Lirik-liriknya bergerak dalam wilayah refleksi eksistensial, seperti pencarian jati diri, relasi dengan takdir, serta keterhubungan manusia dengan akar budaya yang mengakar pada tubuhnya dan menjadi sebuah identitas batin si Manusia. Identitas Mongondow tidak diposisikan sebagai simbol folkloris semata, melainkan sebagai kesadaran kultural yang membingkai kegelisahan subjek lirik. Manusia dalam album ini hadir sebagai individu yang berjalan sendiri, menimbang hidup dari dalam dirinya, dan mencoba menemukan makna di tengah ketidakpastian zaman.

            Berbeda dengan itu, Kapal Udara melalui Album “Satu Sama Lain” justru menggeser fokus ke ranah relasional. Album ini memotret manusia sebagai makhluk sosial yang tak pernah benar-benar otonom. Relasi antarmanusia, empati, dan kebersamaan menjadi pusat narasi. Bahasa yang digunakan cenderung komunikatif dan dekat dengan pengalaman sehari-hari, memperlihatkan bagaimana pergulatan hidup tidak hanya berlangsung dalam batin seorang manusia, tetapi juga dalam interaksi sosial yang kerap rapuh dan penuh negosiasi.

            Dalam perspektif sastra bandingan sebagaimana dirumuskan oleh Sapardi Djoko Damono, bahwasanya perbandingan sebuah karya tidak bertujuan untuk menilai superioritas pada karya itu sendiri, melainkan kehadirannya adalah membuka dialog antar-teks yang terjadi ketika kita membaca dan menyimak karya itu sendiri antar-pandangan dunia, dan antar-konteks budaya. Lagu sebagaimana puisi dapat diperlakukan sebagai teks sastra modern yang merekam kesadaran sosial penciptanya. Dengan demikian, Kembara Jiwa dan Satu Sama Lain dapat dibaca sebagai dua teks yang berbicara tentang manusia itu sendiri, tetapi melalui jalur estetik yang berbeda. BRAGA MGNDW memilih orientasi ke dalam: bagaimana manusia dipahami melalui unsur batin, spiritualitas, pencarian jati diri, dan memori kultural yang dialami oleh manusia. Sedangkan Kapal Udara memilih orientasi ke luar: bagaimana manusia dipahami melalui relasi sosial dan pengalaman kolektif yang mengikatnya, misal, agenda politik yang perlu interaksi masyarakat, atau sebuah problematika antara rakyat dan pemerintah yang bisa mengarah pada hal negati atau positif, atau bahkan sebuah kebiasaan yang menurun pada masyarakat itu sendiri, bahkan yang berdekatan dengan mereka.

            Perbedaan ini bukanlah dikotomi yang saling meniadakan, melainkan menunjukkan bahwa pengalaman manusia selalu berada di antara dua kutub, yaitu internal, eksternal, personal dan sosial. Keduanya sama-sama lahir dari ekosistem musik independen, yang memungkinkan artikulasi isu kemanusiaan berlangsung lebih jujur dan tidak tereduksi oleh kepentingan pasar. Dalam konteks budaya kontemporer yang kerap menuntut kecepatan dan keseragaman, kehadiran album-album semacam ini menjadi penting sebagai arsip kegelisahan generasi muda, tentang siapa diri mereka, dan bagaimana mereka hidup bersama orang lain. Membaca dan mendengarkan lirik-lirik penuh penghayatan hidup pada dua album ini secara berdampingan memperlihatkan bahwa musik independen Indonesia tidak hanya bergerak pada tataran estetikal saja, tetapi juga epistemik bagaimana kedua album tersebut menawarkan cara memahami manusia dan masyarakat lebih menyeluruh tanpa melihat dalam satu sudut pandang saja.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama