Sepiring Rindu yang Terbelenggu di Sudut Paris: Kisah Nyata di Balik Novel Pulang (Leila S. Chudori)


Penulis: Wahyudistira Moki



    Di sudut kota Paris yang jauh dari aroma gorengan pinggir jalan dan deru klakson bajaj, ada sebuah restoran kecil yang menyajikan sesuatu yang lebih dari sekadar makanan. Namanya Restoran Tanah Air—dan bagi banyak orang Indonesia yang hidup dalam pengasingan, tempat itu bukan hanya sekadar rumah makan. Ia adalah rumah dalam arti yang paling personal dan bermakna dalam.

    Restoran Tanah Air pertama kali diperkenalkan ke publik luas lewat halaman-halaman novel Pulang karya Leila S. Chudori, sebuah novel yang mengisahkan tentang eksil Indonesia pasca-1965 yang menyebut kelompok mereka sebagai Empat pilar Tanah Air yang membangun ulang identitas mereka di tanah yang tak mereka kenali. Dalam novel tersebut, Restoran Tanah Air menjadi ruang hangat di tengah dinginnya pengasingan oleh mereka yang tak bisa kembali ke tanah air untuk sementara waktu. Di sana, rendang disajikan bersama kerinduan, dan rawon menjadi saksi bisu lahirnya percakapan-percakapan subversif.

Fiksi itu bukan sekadar rekaan dari Leila saja.

    Restoran Tanah Air benar-benar ada. Ia didirikan oleh Ayah dari Anita Soborn beserta tiga orang teman-teman ayahnya, di antaranya, Sobron Aidit, A. Umar Said, Budiman Sudharsono, dan JJ Kusni pada tahun 1982, dan sejak saat itu menjadi titik temu para perantau, terutama mereka yang tak bisa kembali pulang karena sejarah menulis nama mereka dengan tinta yang salah.

    "Restoran ini bukan hanya untuk menyajikan makanan Indonesia," kata Anita dalam salah satu wawancara langka.

       "Tapi untuk menjaga sesuatu yang lebih rapuh dari pencabutan paspor: yaitu kenangan."

    Ketika Leila S. Chudori menulis Pulang, ia memang melakukan riset panjang, termasuk mewawancarai eksil-eksil Indonesia di Paris dan mendengar kisah mereka yang hidup di bawah bayang-bayang keputusan politik yang memutus akses mereka ke tanah kelahiran. Namun, bagi banyak pembaca, fakta bahwa Tanah Air benar-benar eksis, adalah kejutan sekaligus penguat bahwa sejarah tak selalu butuh monumen besar untuk dikenang. Kadang cukup sepiring nasi uduk.

    Dalam novel, restoran itu bukan sekadar bercerita tentang latar tempat saja. Ia adalah karakter tersendiri—tempat tokoh-tokoh seperti Dimas, Lintang, dan lainnya menganyam ulang makna “Indonesia” lewat dapur dan meja makan. Di kehidupan nyata, perannya tak kalah penting. Restoran Tanah Air milik Anita adalah ruang budaya yang hidup. Ia menyimpan aroma kampung halaman di sela-sela pengasingan, dan menjadi benteng kecil bagi bahasa, rasa, dan ingatan yang nyaris lenyap oleh waktu dan politik.

    Ada korelasi unik di sini: fiksi memperkenalkan kita pada kenyataan, dan kenyataan justru membuat fiksi terasa lebih dalam. Leila tidak menulis sejarah secara dokumentatif, tapi lewat kepekaan sastra ia menunjukkan bahwa luka kolektif pun bisa terasa lewat sambal yang tidak terlalu pedas, atau suara kerupuk yang pecah di mulut orang-orang Perancis itu. Ia mengangkat Restoran Tanah Air bukan hanya sebagai tempat, tapi juga menyimpan sebuah metafora: bahwa ‘pulang’ tidak selalu berarti kembali ke rumah, tetapi mungkin cukup duduk di sebuah meja yang menyajikan sesuatu yang terasa akrab.

    Di masa kini, saat banyak orang Indonesia bepergian ke luar negeri untuk liburan atau studi, cerita para eksil seperti yang disajikan dalam Pulang kadang terasa seperti dongeng kelam yang jauh. Tapi kehadiran nyata restoran Tanah Air adalah pengingat bahwa sejarah tidak hanya hidup di dalam arsip dan museum. Ia bisa tersimpan dalam semangkuk soto, di dalam percakapan pelan antara dua orang yang menyimpan masa lalu yang sama, meski tak saling kenal.

    Pada akhirnya, Fiksi dan realitas mampu bertemu di titik yang paling manusiawi—lewat makanan, ingatan, dan rasa ingin pulang yang menggebu-gebu.


1 Komentar

Lebih baru Lebih lama