Praktik nepotisme
seringkali dianggap praktik yang melanggar prinsip meritokrasi. Dalam lingkup sistem kekuasaan demokrasi, praktik
nepotisme dinilai merugikan dan mengabaikan keadilan karena memberikan keuntungan atau hak
istimewa berupa posisi, jabatan, atau kemudahan berdasarkan
kekerabatan bukan karena kompetensi. Bagaimanapun
sistem kekuasaan tidak terlepas dari intrik politik yang melatarbelakanginya termasuk peran dari King Maker. King Maker
digambarkan sebagai sosok atau tokoh yang memiliki
pengaruh besar dalam iklim perpolitikan suatu sistem. King Maker dan praktik nepotisme memang tidak memiliki
keterkaitan secara langsung, namun jika dicermati kedua fenomena ini sudah mengakar kuat dalam
warna perpolitikan negeri ini, jauh sebelum nama Indonesia
didengungkan. Saat kerajaan-kerajaan masih mendominasi kekuasaanya di
Nusantara.
Sistem politik monarki yang terbentuk di Nusantara sejak abad ke-7 hingga abad ke-16, menarik Pramoedya Ananta Toer untuk mengulik intrik politik yang terjadi di salah satu kerajaan besar di Jawa bernama Kerajaan Singosari yang berjaya pada tahun 1222. Pram, menjabarkan dari sudut pandangnya bagaimana intrik politik dalam kekuasaan politik jawa yang tak lepas dari praktik nepotisme untuk meraih kekuasaan absolut, menguasai pengaruh rakyat jelata, memegang kendali kaum terpelajar atau brahmana, kisah asmara dan mengendalikan armada pasukan militer yang digambarkan jelas melalui novel “Arok Dedes”yang diterbitkan pada tahun 1999 terdiri dari 578 halaman.
Novel “Arok Dedes” secara eksplisit menceritakan gerakan kudeta dalam Kerajaan Tumapel cikal bakal Kerajaan Singasari, namun secara implisit menjelaskan praktik-praktik nepotisme dan vitalnya peran king maker yang terjadi di lingkungan kerajaan. Arok yang kemudian akrab dipanggil Ken Arok adalah seorang anak angkat yang dibesarkan oleh kaum brahmana Bernama Dang Hyang Lohgawe. Melihat potensi besar yang ada dalam diri Ken Arok, Lohgawe mengizinkannya untuk mempelajari ilmu-ilmu brahmana. Hubungan Raja Tumapel kala itu, Raja Tunggul Ametung dengan kaum brahmana digambarkan sangatlah buruk, gaya kekuasaannya yang otoriter dan bengis, mampu berbuat sewenang-wenang kepada siapapun yang melawannya. Rakyat dibebankan pajak yang tinggi, praktik nepotisme yang menguat seperti dilantiknya anak-anak Raja Tunggul Ametung sebagai perwira Tumapel membuat kaum brahmana makin tersulut emosi dan pemberontakan sulit dihindari.
Padahal pada masa Raja
Airlangga pendiri Kerajaan Medang, praktik nepotisme sudah perlahan- lahan ditinggalkan diganti dengan sistem
meritokrasi yang memperbolehkan siapa saja mampu menjadi
patih, perwira bahkan raja selama mempunyai kapasitas dan kompetensi. Namun system meritokrasi ini justru dianggap sebagai
sumber konflik kaum brahmana dan sudra atau kelas pekerja
karena tidak dijabarkan persyaratan dan kriteria jelas untuk menduduki posisi
tersebut, selain
mengandalkan kekuatan fisik semata.
Anehnya meski terlibat
konflik dengan kaum brahmana, Raja Tunggul Ametung justru meminta bantuan kaum brahmana untuk meredam
pemberontakan yang terjadi di Tumapel. Hal ini menjadi kesempatan emas oleh Lohgawe sebagai
dedengkot kaum brahmana yang sudah menaruh dendam kesumat
pada Tunggul Ametung sejak lama. Disinilah peran king maker Lohgawe terlihat
lihai, dia bermain dua kaki. Satu kaki mengunci
peran sebagai peredam kerusuhan Tumapel lewat diangkatnya
Ken Arok sebagai kepala penumpas pemberontakan, namun satu kaki dia menjadikan Ken Arok sebagai aktor politik lapangan
yang bakal menjatuhkan kekuasaan Tunggul Ametung setelah
dipercaya masuk lingkaran kekuasaan. Begitu
percayanya Tunggul Ametung kepada Ken Arok menjadi modal Ken Arok membangun kekuatan pemberontak Tumapel dengan
menaruh orang-orang kepercayaannya sebagai pimpinan pemberontak. Orang-orang terdekatnya
dipasang di basis-basis lini pasukan terkuat, misalnya Tanca adalah teman baik Ken Arok sejak
kecil yang dipercayai sebagai wakil pemimpin tertinggi dan Umang yang merupakan selir Ken Arok
menjadi pemimpin prajurit wanita di selatan Tumapel. Praktik nepotisme semacam ini lazim
diterapkan sebagai upaya memperkuat posisi dan melemahkan
peran orang-orang utusan dari lingkaran kekuasaan lawan. Liciknya Ken Arok
adalah bersekongkol dengan Paramesywari Tumapel
yaitu Ken Dedes seorang putri brahmana yang diculik
dan dikawin paksa oleh Tunggul Ametung. Oleh sebab itu, Ken Dedes merasa dendam kepada suaminya itu. Namun lambat laun,
Ken Arok justru jatuh cinta kepada Ken Dedes yang akan
menjadi cikal bakal isterinya di masa depan.
Singkat cerita, dalam
novel “Arok Dedes”, akhir hayat Raja Tunggul Ametung yang diracun oleh permaisurinya sendiri yakni Ken Dedes,
padahal saat itu Ken Dedes sedang mengandung anak dari Tunggul Ametung. Novel ini juga
menggambarkan kejatuhan Tumapel yang disinyalir dilakukan oleh orang-orang terdekat kepercayaan Raja
Tunggul Ametung seperti Lohgawe, Ken Arok dan Ken
Dedes dalam gerakan kudeta bawah tanah. Lagi-lagi peran Lohgawe sebagai king
maker di sini
cukup sukses menjatuhkan Tunggul Ametung sekaligus mengangkat Ken Arok yang
kemudian menjadi Raja pertama Kerajaan Singosari
lanjutan dari Kerajaan Tumapel. Kelebihan
dari novel “Arok Dedes” ini adalah cukup relevan dengan kondisi perpolitikan
saat ini yang penuh intrik. Gambaran peran tokoh yang berhasil
mengundang emosi, alur cerita yang kompleks
dimulai dari pembersihan orang-orang kepercayaan lawan hingga praktik nepotisme dengan mengangkat kerabat menduduki
posisi-posisi strategis serta peran king maker yang licik dan cerdas sesuai fakta.
Selayaknya sebuah karya,
kekurangan dari novel “Arok Dedes” karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu terdapat beberapa diksi yang sulit
dipahami di era saat ini, selain itu alur cerita juga mampu mengundang perdebatan karena sedikit
berbeda dari cerita sejarah yang selama ini dituturkan. Namun secara keseluruhan sebagai pembaca,
novel “Arok Dedes” dapat dinikmati dengan baik sebagai
bacaan yang syarat makna dan pesan-pesan kehidupan.
Melalui karya novel “Arok Dedes”, intrik politik kekuasaan dalam lingkungan kekuasaan politik Jawa sepertinya masih cukup relevan untuk menggambarkan kondisi perpolitikan nasional yang notabeni masih terbawa suasana gaya politik jawa di mana peran king maker dan praktik nepotisme tetap membumi meski kekuasaan beralih dari sistem monarki menjadi demokrasi.