Belajar Menjadi Manusia dari Mereka yang Dianggap Berbeda


Penulis: Wahyudistira Moki


    Beberapa waktu lalu, aku kembali dibuat merenung tentang sebuah bentuk yang disebut sebagai “kemanusiaan", bentuk tersebut berubah menjadi sebuah pertanyaan, seperti “apakah kemanusiaan hanya lahir dari sudut pandang manusia yang dianggap normal?” Jika iya, barangkali kemanusiaan itu lebih baik tak pernah benar-benar lahir. Sebab, masih ada kelompok yang merasa berhak mendefinisikan kata “normal,” sebenar-benar pada tempatnya berada, namun kelompok mayoritas dengan mudahnya menempatkan mereka yang terlahir dengan kebutuhan khusus ke dalam ruang-ruang yang dianggap berbeda dan bahkan terdiskriminasi.
    
    Namun, jika kemanusiaan dipahami dari sudut pandang kesetaraan, tanpa memandang seperti apa seseorang dilahirkan, bagaimana ia tumbuh, atau bagaimana ia berperilaku, maka kemanusiaan tersebut haruslah menjadi sesuatu yang harus hadir, dijaga, dan bahkan disuarakan setinggi-tingginya. Sebab, “Setiap manusia akan normal pada porsinya masing-masing”.

    Dari titik inilah aku menyadari bahwa setiap manusia sebenarnya memiliki “normalitasnya” sendiri. Kesadaran itu muncul setelah aku menonton sebuah film India berjudul Sitaare Zameen Par, karya R. S. Prasanna, yang dibintangi Aamir Khan dengan peran sebagai Gulshan. Film ini sejatinya adalah adaptasi dari Champions karya Javier Fesser. Singkatnya, seorang pelatih basket yang keras kepala dan egois dipecat dari timnya, lalu akibat sebuah insiden hukum ia dijatuhi sanksi sosial berupa kewajiban melatih tim basket di sekolah kebutuhan khusus. Awalnya, Gulshan menjalani tugas itu dengan terpaksa. Namun seiring waktu, ia menemukan tantangan dan juga makna baru dalam hidupnya, hingga akhirnya berhasil membawa tim Sitaare menuju kejuaraan basket nasional.

    Meskipun kisahnya merupakan adaptasi, film ini tidak kehilangan ruhnya. Justru, Sitaare Zameen Par hadir dengan kehangatan, humor, dan kelucuan polos para penyandang disabilitas yang tergabung dalam tim Sitaare. Mereka tidak digambarkan sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai individu yang unik, utuh, dan penuh dengan warna-warna yang tidak semua manusia memilikinya. Ribuan Tepuk tangan yang meriah patut diberikan, bukan hanya untuk Aamir Khan sebagai seorang aktor sekaligus yang memproduksi film ini, tetapi juga untuk seluruh pemeran tim Sitaare yang berhasil memikat penonton dengan energi mereka.

    Ketika menontonnya, aku merasa film ini memberi ruang bagi kita untuk merefleksikan apa arti “normal” yang benar sesuai tempatnya. Definisi Normal bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan bisa hadir dalam berbagai bentuk, sesuai porsi dan kapasitas manusia itu sendiri. Orang yang keras kepala, egois, bahkan merasa dirinya selalu benar, justru bisa belajar banyak dari mereka yang sering diremehkan. Dari para penyandang disabilitas, Gulshan dan juga kita sebagai penonton diajak untuk memahami emosi yang lebih mendalam, menghargai perasaan orang lain, dan mengedepankan empati dalam bersikap.
    
    Bagiku, film ini bukan sekadar hiburan saja, namun ia menghadirkan sebuah pelajaran penting: bahwa kepekaan sosial, rasa setara, dan empati adalah fondasi dari sebuah kemanusiaan yang sejati. Jika kita mampu melihat orang lain bukan sebagai “yang cacat” atau “yang berbeda,” melainkan sebagai sesama manusia yang sama berharganya, maka pada saat itulah kalimat Manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain akan  benar-benar terasa hadir dan mekar di tengah-tengah kehidupan kita.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama