MENJAGA NYALA LITERASI DARI TANGAN-TANGAN KECIL

Penulis; Wahyudistira Moki



        Kampanye mengenai Literasi pada hari ini, menjadi sebuah kata yang sering dielu-elukan oleh seluruh kalangan. Namun, di balik semua slogan dan seminar mengenai gerakan literasi, kenyataannya Indonesia masih berkutat dengan rendahnya minat Literasi di seluruh elemen masyarakat, dari muda hingga orang tua.

        Kita selalu bangga dengan tanah yang melimpah sumber alamnya, tetapi lupa bahwa kekayaan sejati juga terletak pada manusianya. Anologi sederhananya, jika kita ingin sebuah pohon yang melimpah buah-buahannya, kita tak bisa memulainya dari batangnya, melainkan harus dimulai dari bibitnya dulu. Jika bibitnya dirawat dan dibelai dengan baik, maka bisa dipastikan buah yang kelak dihasilkan juga bisa memuaskan dan berkualitas. Demikianlah gerakan Literasi seharusnya dimulai. Dari anak-anak yang imajinasi, ego, dan ideologinya belum dikekang dunia.

            Berangkat dari keyakinan itu, saya bersama kawan-kawan Mahasiswa seperjuangan yang tengah menjalankan program UNG Mengajar di SMP Negeri 1 Limboto Barat, memutuskan membuka sebuah kelas kecil yang memberi tempat bagi tulisan dan imajinasi berkeliaran dengan bebas. Tidak sekadar belajar tentang tulisan informatif atau artikel, tetapi juga tulisan sastra yang sesuai dengan disiplin ilmu saya.  Sebab saya percaya, sebelum anak-anak mengenal sebuah struktur berpikir yang lebih mendalam, mereka harus terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri, melalui imajinasi yang dituangkan tanpa takut salah, tanpa perlu merasa benar, agar kelak sebuah cacat logika tak akan menghantui mereka.

            Kami menghabiskan beberapa pekan untuk duduk bersama para siswa. Kami mendengarkan cerita-cerita yang mereka sembunyikan di balik tatapan polos, kami menyaksikan bagaimana ide-ide sederhana menjelma menjadi paragraf, dan bagaimana keberanian mereka tumbuh setiap kali sebuah kalimat selesai ditulis. Lalu sampailah kami pada momen yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, lahirnya sebuah buku antologi cerpen berjudul “Ribuan Bintang di Atas Kepala” Sebuah buku setebal 98 halaman yang memuat cerita-cerita orisinal para siswa, cerita yang mungkin belum sempurna dari segi Teknik penulisan cerpen yang sesungguhnya, namun tulisan mereka sangatlah jujur, segar, dan penuh nyala yang tak bisa diajarkan di buku teori mana pun. Buku itu menjadi semacam perayaan kecil. Bukan perayaan atas keterampilan menulis, tetapi atas keberanian untuk bercerita. Atas imajinasi yang menemukan jalannya. Atas langkah awal yang, meski sederhana, bisa menjadi pintu masuk menuju masa depan literasi yang lebih cerah.

            Mungkin di mata orang lain, ini hanyalah sebuah program kerja biasa. Tapi bagi saya dan rekan-rekan saya, kelas itu adalah bukti bahwa literasi tidak tumbuh di seminar atau ruang rapat, melainkan di tangan-tangan kecil yang mulai belajar merangkai kata. Merangkak di kepala anak-anak yang akhirnya berani berkata, “Saya juga bisa menulis”.

            Pada akhirnya, gerakan literasi tidak hanya selalu lahir dari perpustakaan megah atau dari program-program nasional yang terkadang hanya semata seremonial saja. Terkadang ia bermula dari selembar kertas, sebuah pensil, dan dari anak-anak yang berani membayangkan bintang-bintang jatuh dan berputar tepat di atas kepalanya dan menghasilkan sebuah inspirasi cerita kecil yang berangkat dari pengalaman pribadi masing-masing.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama