PULANG KE GORONTALO HINGGA KEMBALI (LAGI) KE YOGYAKARTA

Penulis: Salman Alade

Pulang ke Gorontalo

 

setelah sekian musim lupa,

aku kembali ke tanah yang dulu mengajariku nama dan doa—Gorontalo,

dengan laut yang masih menyimpan gema azan masa kecilku.

 

aku pulang
bukan sebagai tamu,
tapi sebagai anak yang pernah menanam cita-cita
di halaman rumah
dan menyimpannya jauh-jauh di ransel kepergian.

 

di beranda rumah,
ibu menyambutku dengan peluk
yang aromanya tak pernah bisa dibungkus dalam koper.
angin dari Teluk Tomini menyapa pelan,
membawa sisa cerita dari masa kecil
yang kutinggalkan demi tugas akhir, kelas daring, dan harapan.

 

jalanan ke pasar,
lorong ke masjid tua,
semua masih utuh di ingatanku—
hanya aku yang mulai usang
dibawa jadwal kuliah, revisi dosen, dan kalender semester.

 

aku duduk di bangku kayu di bawah pohon mangga,
tempat dulu aku menulis mimpi:
menjadi seseorang,
lalu kembali.

 

namun aku tahu,
tak ada pulang yang bisa menebus
segala waktu yang terlewat
kecuali rindu yang jujur.

 

(Desember 2024)

 

 

 

Yang Mereka Tunggu Bukan Batik atau Bakpia

 

aku menyeberangi awan
dengan ransel berisi waktu yang dipadatkan,
dan kantong kecil berisi oleh-oleh
yang kupilih bukan karena wajib,
tapi karena ingin.

 

dalam koperku ada daster motif batik
yang kupilih sembari mengingat tubuh ibu
yang selalu bangun sebelum mentari.
ada bakpia dalam kotak mungil,
karena aku tahu saudaraku suka manis yang mudah meleleh,
seperti tawa kami di meja makan.

 

tapi saat pintu rumah terbuka,
tak ada tangan yang langsung merogoh isi tasku.
tak ada pertanyaan tentang titipan,
tak ada tuntutan dari daftar belanja.

 

hanya peluk—
yang warnanya lebih hangat dari batik,
dan lebih lembut dari isi bakpia.

 

mereka tak menunggu apa-apa,
selain langkah kakiku
yang menjejak lagi di tanah tempat namaku pertama kali dipanggil.
mereka tak meminta apa-apa,
selain tubuhku utuh
dan cerita yang bisa dibagikan sambil makan malam.

 

maka aku tahu,
pulang bukan soal apa yang kubawa,
tapi kepada siapa aku kembali.

 

dan meski daster dan bakpia tetap kubuka,
aku sadar:
akulah oleh-oleh itu.
yang mereka tunggu
sejak lama.

 

(Desember 2024)

 

 

 

Ranselku Penuh Hal yang Tak Bisa Kau Genggam

 

aku kembali dari mudik,
membawa aroma tanah,
bekas pelukan ibu,
dan suara ayam di subuh hari.

 

kau minta oleh-oleh,
tapi apa yang bisa kuberikan padamu
yang tak tahu rasanya
menahan tangis dalam diam
di bawah langit kampung?

 

aku hanya bisa tersenyum,
sebab ranselku penuh hal
yang tak bisa dibagi dengan tangan kosong.

 

(April 2025)

 

 

 

Kembali (Lagi) ke Yogyakarta

 

subuh di Gorontalo terasa lebih lambat pagi itu.

angin menyingkap tirai seperti tangan ibu
yang tak ingin melepas,
meski tahu anaknya harus kembali
mengejar gelar dan janji masa depan.

 

aku kemas baju,
juga wajah-wajah yang kutinggalkan di meja makan.
aroma ikan bakar semalam
masih menempel di ujung jaket,
dan tawa sanak saudara
masih bergema di sela saku celana.

 

jalanan menuju terminal sunyi dan panjang,
bahkan suara radio tak cukup menghibur
ketika hatiku tertinggal
di balik pintu rumah yang pelan-pelan kututup.

 

bus membawaku ke pelabuhan Donggala,
dan dari sana, kapal laut mengantar tubuh ini
melintasi waktu dan gelombang—
menuju kota yang mengajariku arti gigih, sunyi, dan pengorbanan.

 

dan saat tiba di Yogyakarta,
aku tak benar-benar menemukan tanahku,
hanya catatan kuliah, tugas akhir, dan deadline jurnal
yang menungguku
lebih setia daripada rindu.

 

Gorontalo kini menjadi nama
yang kusebut dalam setiap lelah,
dan aku kembali,
bukan karena sudah selesai pulang,
tapi karena mimpi belum mengizinkanku
tinggal lebih lama.

 

(April 2025)

 

 

 

Di Persimpangan Gorontalo—Yogyakarta

 

di jalan lengang yang tak bernama,
aku berhenti—lagi.
di satu sisi,
Patung Saronde melambai seperti ibu,
tak pernah bisa melarang
meski hatinya penuh doa.
di sisi lain,
Tugu Yogyakarta berdiri tegak,
seperti mimpi yang kupeluk diam-diam,
meski tahu: pelukan pun tak selalu cukup untuk tinggal.

 

angin menyapu langkah,
membawa aroma jagung bakar dari Limboto,
dan bayang angkringan
di bawah langit Malioboro yang nyaris hujan.
langit pun bimbang,
haruskah ia berwarna lembayung Danau Limboto
atau jingga kemerahan Kali Code saat sore tiba?

 

aku tahu ini jalan yang mustahil,
mana mungkin satu simpang
menyimpan dua kota yang dipisah samudra?
tapi hatiku tak tunduk pada peta.
ia membangun jembatan
dari rindu yang tak selesai dibungkus koper.

 

kadang aku berpikir,
aku tak pernah benar-benar sampai.
setiap kota hanya persinggahan

 

yang mempertemukan aku
dengan separuh diriku yang lain.
yang satu lahir dari lumpur subur Gorontalo,
yang lain tumbuh dari debu peradaban Yogyakarta.

 

lalu aku melangkah,
bukan ke kanan, bukan ke kiri—
tapi ke dalam.
menuju ruang paling sunyi
tempat dua kota saling bersalaman
dan berkata:

“Tinggallah, tapi jangan lupa pulang.”

 

(April 2025)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama