Kenapa yang katanya kader sepuh atau yang sering dianggap paling berintelektual dalam kelompok-kelompok organisasi, malah realitasnya giat melanggengkan sistem otokratis dalam gaya kepemimpinan?
Organisasi didirikan bukan sekadar
ruang alternatif perlawanan intelektual terhadap dominasi, ketidakadilan, dan
kemapanan yang membungkam. Namun, idealisme luhur itu kini seolah kehilangan
ruhnya di tubuh beberapa kelompok organisasi saat ini, di mana proses
kaderisasi tak lagi menjadi jalan pembebasan, melainkan jebakan yang
dikendalikan oleh kepemimpinan otokratis dan patronase politik internal.
Apa jadinya jika organisasi yang
seharusnya mencetak anggota visioner dan kritis justru dikekang oleh segelintir
elite struktural yang anti demokrasi? Dalam konteks ini ada beberapa kelompok
organisasi yang di mana
menghalalkan sebuah
sistem kepemimpinan otokratisme. Sistem Kepemimpinan otokratisme bukan hanya
sebuah gaya, tetapi telah menjelma menjadi sistem kekuasaan internal yang
sistematis, hegemonik, dan destruktif.
Artikel ini saya buat murni dari keresahan yang sejajar dengan realitas saat ini, dan saya tidak akan berhenti pada kritik lunak. Ini merupakan seruan keras bagi rekonfigurasi total kepemimpinan dan pembebasan anggota dari sistem feodal yang membunuh potensi anggota yang ada dalam tubuh sebuah Organisasi.
Kepemimpinan Otokratis Cermin Mental Feodal dalam Wajah Progresif
Kronik Kepemimpinan yang Mencekik Sebagian
Organisasi Saat
ini
1. Tirani Pengambilan Keputusan
Musyawarah hanyalah formalitas
belaka. Keputusan sudah ditentukan sebelumnya oleh segelintir elite struktural
yang bahkan tidak bersedia membuka ruang koreksi. Anggota dikondisikan untuk
menyetujui, bukan mempertanyakan. Demokrasi internal berubah menjadi sandiwara.
2. Penghancuran Ruang Diskusi
Alih-alih menjadi arena pertarungan
ide, ruang diskusi berubah menjadi panggung dominasi narasi tunggal. Anggota
yang menyampaikan kritik dilabeli “tidak loyal”, “tidak paham tradisi”, atau
bahkan “bukan bagian dari barisan sejati organisasi”. Keterbukaan bahkan menjadi
ancaman.
3. Kultus Individu dan Kepemimpinan
Totaliter
Struktur organisasi dikuasai
sepenuhnya oleh beberapa figur tertentu. Setiap pergerakan, inisiatif, bahkan
wacana kaderisasi pun harus mendapat restu. Tidak ada distribusi tanggung
jawab, hanya distribusi ketergantungan.
4. Pemusnahan Anggota Potensial lewat
Politik Kedekatan
Kader-kader yang memiliki ide,
kapasitas, dan semangat pergerakan justru dimarjinalkan karena dianggap tidak
cukup loyal secara emosional. Politik balas jasa dan patron klien menjadi
praktik umum dalam penentuan kepanitiaan, rekomendasi, hingga jabatan
struktural.
5. Mandeknya Inovasi dan Matinya
Gerakan
Sebagian organisasi yang ada saat ini tidak bergerak. Ia berjalan di tempat karena ditarik ke belakang oleh gaya kepemimpinan yang hanya takut pada satu hal: perubahan. Anggota dengan gagasan segar diabaikan, dianggap ancaman, dan dibiarkan layu tanpa ruang tumbuh.
Dampak Sistemik terhadap
Kaderisasi: Produksi Kepatuhan, Bukan Kesadaran
1. Kaderisasi sebagai Proses
Penjinakan
Alih-alih mendidik anggota menjadi
subjek yang berpikir, kaderisasi di bawah kepemimpinan otokratis berubah
menjadi proses penjinakan. Anggota diajari untuk patuh, bukan berpikir kritis.
Progresivitas dianggap ancaman, bukan nilai yang dirayakan.
2. Rekayasa Sosial Internal dan Polarisasi
Terjadi fragmentasi internal
berbasis “kedekatan struktural”, bukan “kualifikasi ideologis”. Kader
diposisikan bukan berdasarkan kapasitas, melainkan seberapa tunduk ia kepada
elit struktural maupun pimpinan organisasi. Hal Ini menciptakan kelas-kelas
sosial dalam sebuah organisasi dan memicu gesekan horizontal yang tidak sehat.
3. Pembusukan Semangat Kolektif
Lama-kelamaan, anggota kehilangan
harapan dan semangat. Mereka hadir hanya karena formalitas, bukan karena
keyakinan. Proses kaderisasi kehilangan makna, dan regenerasi menjadi stagnan,
bahkan mati suri.
Sebagian kelompok-kelompok
organisasi saat ini sedang berada dalam titik krisis moral dan ideologis jika
tidak segera keluar dari bayang-bayang otoritarianisme internal. Sudah cukup
kita menyaksikan anggota disingkirkan hanya karena berani berbeda pendapat.
Sudah cukup organisasi ini dibajak oleh kepemimpinan yang hanya memperpanjang
kekuasaan para kader sepuh yang menjadi elit struktural.
Kini saatnya melakukan dekonstruksi
total terhadap sistem kepemimpinan yang menjadikan organisasi sebagai arena
kekuasaan elitis. Kaderisasi harus dikembalikan kepada ruhnya yang asli. Yaitu
proses pencerdasan, pembebasan, dan pembentukan subjek pemikir. Kita tidak
butuh pemimpin yang haus loyalitas, kita butuh pemimpin yang membangun
kesadaran kolektif.
Organisasi tidak boleh menjadi
kuburan bagi anggota. Ia harus kembali menjadi medan perjuangan. Dan perjuangan
itu harus dimulai dari membongkar kepemimpinan otokratis yang menggerogoti
jantung kelompok-kelompok organisasi yang ada saat ini. Mengutip apa yang
dikatakan salah satu sahabat saya sekaligus mentor dalam bacaan, yaitu “Sebuah
wadah tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang ataupun individu yang merasa
paling berpengaruh, namun semestinya wadah haruslah dimiliki secara bersama
tanpa ketimpangan yang hanya menyesatkan cara berpikir para anggota di dalamnya”.