INTELEKTUAL PALSU DAN WARISAN OTOKRASI DI BAWAH KRISIS NALAR BAYANG-BAYANG KADER SEPUH



Penulis: Reza Beeg


        Kenapa yang katanya kader sepuh atau yang sering dianggap paling berintelektual dalam kelompok-kelompok organisasi, malah realitasnya giat melanggengkan sistem otokratis dalam gaya kepemimpinan?

 

           Organisasi didirikan bukan sekadar ruang alternatif perlawanan intelektual terhadap dominasi, ketidakadilan, dan kemapanan yang membungkam. Namun, idealisme luhur itu kini seolah kehilangan ruhnya di tubuh beberapa kelompok organisasi saat ini, di mana proses kaderisasi tak lagi menjadi jalan pembebasan, melainkan jebakan yang dikendalikan oleh kepemimpinan otokratis dan patronase politik internal.

          Apa jadinya jika organisasi yang seharusnya mencetak anggota visioner dan kritis justru dikekang oleh segelintir elite struktural yang anti demokrasi? Dalam konteks ini ada beberapa kelompok organisasi yang di mana menghalalkan sebuah sistem kepemimpinan otokratisme. Sistem Kepemimpinan otokratisme bukan hanya sebuah gaya, tetapi telah menjelma menjadi sistem kekuasaan internal yang sistematis, hegemonik, dan destruktif.


Artikel ini saya buat murni dari keresahan yang sejajar dengan realitas saat ini, dan saya tidak akan berhenti pada kritik lunak. Ini merupakan seruan keras bagi rekonfigurasi total kepemimpinan dan pembebasan anggota dari sistem feodal yang membunuh potensi anggota yang ada dalam tubuh sebuah Organisasi.

 


Kepemimpinan Otokratis Cermin Mental Feodal dalam Wajah Progresif

        Sistem Otokratisme adalah warisan kolonial dan feodalisme yang mestinya telah lama ditinggalkan. Namun ironisnya, saat ini ia justru hidup dan berkembang subur dalam gerombolan orang yang katanya berintelektual pada beberapa kelompok organisasi. Di mana mereka mengaku membela demokrasi serta kebebasan berpikir. Namun realitasnya Pemimpin maupun para elit struktural yang ada dalam sistem ini berperan layaknya "tuan tanah ideologis" mengklaim kebenaran tunggal, membungkam suara-suara alternatif, dan menyulap loyalitas menjadi satu-satunya mata uang politik dalam organisasi.

             Kritik dianggap makar, diskusi dijadikan formalitas kosong, dan keputusan diambil berdasarkan kedekatan, bukan kapasitas. Di titik ini, banyak Organisasi yang kehilangan semangat transformatifnya dan malah menjadi miniatur oligarki kekuasaan.

    Menurut Bass, pemimpin transformatif seharusnya menjadi penggerak kolektif, bukan memperalatnya. Jargon transformasi juga bukan hanya sekedar hiasan selebaran pelatihan, sementara praktiknya jauh dari nilai-nilai pembebasan.


Kronik Kepemimpinan yang Mencekik Sebagian Organisasi Saat ini

1. Tirani Pengambilan Keputusan

Musyawarah hanyalah formalitas belaka. Keputusan sudah ditentukan sebelumnya oleh segelintir elite struktural yang bahkan tidak bersedia membuka ruang koreksi. Anggota dikondisikan untuk menyetujui, bukan mempertanyakan. Demokrasi internal berubah menjadi sandiwara.

2. Penghancuran Ruang Diskusi

Alih-alih menjadi arena pertarungan ide, ruang diskusi berubah menjadi panggung dominasi narasi tunggal. Anggota yang menyampaikan kritik dilabeli “tidak loyal”, “tidak paham tradisi”, atau bahkan “bukan bagian dari barisan sejati organisasi”. Keterbukaan bahkan menjadi ancaman.

3. Kultus Individu dan Kepemimpinan Totaliter

Struktur organisasi dikuasai sepenuhnya oleh beberapa figur tertentu. Setiap pergerakan, inisiatif, bahkan wacana kaderisasi pun harus mendapat restu. Tidak ada distribusi tanggung jawab, hanya distribusi ketergantungan.

4. Pemusnahan Anggota Potensial lewat Politik Kedekatan

Kader-kader yang memiliki ide, kapasitas, dan semangat pergerakan justru dimarjinalkan karena dianggap tidak cukup loyal secara emosional. Politik balas jasa dan patron klien menjadi praktik umum dalam penentuan kepanitiaan, rekomendasi, hingga jabatan struktural.

5. Mandeknya Inovasi dan Matinya Gerakan

Sebagian organisasi yang ada saat ini tidak bergerak. Ia berjalan di tempat karena ditarik ke belakang oleh gaya kepemimpinan yang hanya takut pada satu hal: perubahan. Anggota dengan gagasan segar diabaikan, dianggap ancaman, dan dibiarkan layu tanpa ruang tumbuh.

 


 

Dampak Sistemik terhadap Kaderisasi: Produksi Kepatuhan, Bukan Kesadaran

1. Kaderisasi sebagai Proses Penjinakan

Alih-alih mendidik anggota menjadi subjek yang berpikir, kaderisasi di bawah kepemimpinan otokratis berubah menjadi proses penjinakan. Anggota diajari untuk patuh, bukan berpikir kritis. Progresivitas dianggap ancaman, bukan nilai yang dirayakan.

2. Rekayasa Sosial Internal dan Polarisasi

Terjadi fragmentasi internal berbasis “kedekatan struktural”, bukan “kualifikasi ideologis”. Kader diposisikan bukan berdasarkan kapasitas, melainkan seberapa tunduk ia kepada elit struktural maupun pimpinan organisasi. Hal Ini menciptakan kelas-kelas sosial dalam sebuah organisasi dan memicu gesekan horizontal yang tidak sehat.

3. Pembusukan Semangat Kolektif

Lama-kelamaan, anggota kehilangan harapan dan semangat. Mereka hadir hanya karena formalitas, bukan karena keyakinan. Proses kaderisasi kehilangan makna, dan regenerasi menjadi stagnan, bahkan mati suri.

 

           Sebagian kelompok-kelompok organisasi saat ini sedang berada dalam titik krisis moral dan ideologis jika tidak segera keluar dari bayang-bayang otoritarianisme internal. Sudah cukup kita menyaksikan anggota disingkirkan hanya karena berani berbeda pendapat. Sudah cukup organisasi ini dibajak oleh kepemimpinan yang hanya memperpanjang kekuasaan para kader sepuh yang menjadi elit struktural.

            Kini saatnya melakukan dekonstruksi total terhadap sistem kepemimpinan yang menjadikan organisasi sebagai arena kekuasaan elitis. Kaderisasi harus dikembalikan kepada ruhnya yang asli. Yaitu proses pencerdasan, pembebasan, dan pembentukan subjek pemikir. Kita tidak butuh pemimpin yang haus loyalitas, kita butuh pemimpin yang membangun kesadaran kolektif.

        Organisasi tidak boleh menjadi kuburan bagi anggota. Ia harus kembali menjadi medan perjuangan. Dan perjuangan itu harus dimulai dari membongkar kepemimpinan otokratis yang menggerogoti jantung kelompok-kelompok organisasi yang ada saat ini. Mengutip apa yang dikatakan salah satu sahabat saya sekaligus mentor dalam bacaan, yaitu “Sebuah wadah tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang ataupun individu yang merasa paling berpengaruh, namun semestinya wadah haruslah dimiliki secara bersama tanpa ketimpangan yang hanya menyesatkan cara berpikir para anggota di dalamnya”.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama