Ketika Seporsi Sate Jadi Bahasa Cinta yang Paling Sederhana


Penulis; Wahyudistira Moki


    Jika kamu pernah merasakan momen di saat seporsi sate dibagi rata untuk satu keluarga, kamu sedang berada di dalam tulisan yang tepat.

***

            Pernah satu waktu saat lagi asik main medsos, saya melihat salah satu potongan video yang lewat di beranda media sosial saya dan membahas tentang kisah seporsi sate yang dibagi untuk satu keluarga kecil. Satu orang kebagian dua sampai tiga tusuk. Setelah terbagi, momen perebutan saus kacangnya pun tak dilewati oleh kakak-beradik tersebut. Untuk sebagian orang, mungkin hal ini sekilas terlihat sederhana, bahkan mungkin menyedihkan. Tapi bagi mereka terutama saya yang pernah mengalaminya, itu adalah potongan kecil dari cerita besar tentang sebuah cinta dan kebersamaan yang dipelajari tanpa teori apa pun. Bahkan jika teori tentang kesederhanaan dan kebersamaan yang melahirkan cinta tulus sering ditemukan di buku-buku yang pernah kita baca, tanpa sadar, banyak keluarga yang berada di garis kesederhanaan—terutama saat kita masih kecil—sudah lebih dulu mempraktikkannya. Lewat momen-momen kecil yang hangat, yang sekarang tinggal jadi kenangan manis di kepala.

 

            Saya ingat betul waktu kecil, ketika Bapak pulang membawa satu bungkus sate, rasanya seperti hari raya kecil bagi kami sekeluarga. Kami duduk melingkar, saling menghitung tusuk dengan cermat, memastikan semuanya kebagian adil. Tak ada yang merasa kekurangan, karena kami tahu, bukan jumlah tusuknya yang penting, tapi momen saat kami melahap tusuk demi tusuk sate tersebut dengan penuh kesederhanaan yang telah diajarkan oleh orang tua sedari kecil.


            Tidak semua orang tumbuh dengan pengalaman ini, dan tidak semua keluarga menjalani hidup seperti ini. Tapi untuk sebagian dari kita, momen-momen kecil inilah yang tanpa sadar telah mengajarkan arti hidup sederhana, saling berbagi, dan menumbuhkan makna sesungguhnya dari mencintai tanpa syarat.


            Kini, di usia dewasa dengan penghasilan sendiri, membeli seratus tusuk sate bukan lagi hal yang sulit untuk dilakukan—Tapi kekurangannya, momen manis seperti itu sudah tak kita rasakan lagi. Tak ada lagi tangan-tangan kecil yang berebutan tusuk terakhir, berebutan saus kacang, atau sebuah tawa yang renyah saat sate jatuh dari piring.


            Kita mungkin telah tumbuh, punya lebih banyak rejeki, dan bisa lebih mewah dari hal itu. Tapi rasa bahagia yang lahir dari momen-momen sederhana itu tak akan bisa tergantikan bahkan dengan sejuta porsi sate sekalipun. Itulah mengapa saya selalu bersyukur tumbuh di tengah keluarga yang mengajarkan bahwa cinta bukan tentang banyaknya yang kita miliki, tapi bagaimana yang serba cukup itu bisa dibagi dan dinikmati secara bersama.


            Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak sate yang kita makan yang akan dikenang, tapi siapa yang duduk bersama kita saat kita menikmatinya, siapa yang mengajarkan kita arti cinta sesungguhnya di atas daun yang terisi seporsi sate, atau sebuah arti kesederhanaan yang selalu kita kenang saat beranjak dewasa. Yang menjadi pelepas lelah saat Dunia menuntut kita untuk lebih keras. Maka, momen sederhana itulah yang akan mengajarkan kita, bahwa hidup jangan terlalu dipaksakan. Cukup dibuat sederhana dan paham makna syukur yang sebenarnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama