Pernah satu waktu saat
lagi asik main medsos, saya melihat salah satu potongan video yang lewat di
beranda media sosial saya dan membahas tentang kisah seporsi sate yang dibagi
untuk satu keluarga kecil. Satu orang kebagian dua sampai tiga tusuk. Setelah terbagi,
momen perebutan saus kacangnya pun tak dilewati oleh kakak-beradik tersebut. Untuk
sebagian orang, mungkin hal ini sekilas terlihat sederhana, bahkan mungkin
menyedihkan. Tapi bagi mereka terutama saya yang pernah mengalaminya, itu
adalah potongan kecil dari cerita besar tentang sebuah cinta dan kebersamaan
yang dipelajari tanpa teori apa pun. Bahkan jika teori tentang kesederhanaan
dan kebersamaan yang melahirkan cinta tulus sering ditemukan di buku-buku yang
pernah kita baca, tanpa sadar, banyak keluarga yang berada di garis
kesederhanaan—terutama saat kita masih kecil—sudah lebih dulu mempraktikkannya.
Lewat momen-momen kecil yang hangat, yang sekarang tinggal jadi kenangan manis
di kepala.
Saya ingat betul waktu
kecil, ketika Bapak pulang membawa satu bungkus sate, rasanya seperti hari raya
kecil bagi kami sekeluarga. Kami duduk melingkar, saling menghitung tusuk
dengan cermat, memastikan semuanya kebagian adil. Tak ada yang merasa
kekurangan, karena kami tahu, bukan jumlah tusuknya yang penting, tapi momen
saat kami melahap tusuk demi tusuk sate tersebut dengan penuh kesederhanaan
yang telah diajarkan oleh orang tua sedari kecil.
Tidak semua orang tumbuh
dengan pengalaman ini, dan tidak semua keluarga menjalani hidup seperti ini.
Tapi untuk sebagian dari kita, momen-momen kecil inilah yang tanpa sadar telah
mengajarkan arti hidup sederhana, saling berbagi, dan menumbuhkan makna
sesungguhnya dari mencintai tanpa syarat.
Kini, di usia dewasa
dengan penghasilan sendiri, membeli seratus tusuk sate bukan lagi hal yang
sulit untuk dilakukan—Tapi kekurangannya, momen manis seperti itu sudah tak
kita rasakan lagi. Tak ada lagi tangan-tangan kecil yang berebutan tusuk
terakhir, berebutan saus kacang, atau sebuah tawa yang renyah saat sate jatuh
dari piring.
Kita mungkin telah tumbuh,
punya lebih banyak rejeki, dan bisa lebih mewah dari hal itu. Tapi rasa bahagia
yang lahir dari momen-momen sederhana itu tak akan bisa tergantikan bahkan
dengan sejuta porsi sate sekalipun. Itulah mengapa saya selalu bersyukur tumbuh
di tengah keluarga yang mengajarkan bahwa cinta bukan tentang banyaknya yang kita
miliki, tapi bagaimana yang serba cukup itu bisa dibagi dan dinikmati secara bersama.
Karena pada akhirnya,
bukan seberapa banyak sate yang kita makan yang akan dikenang, tapi siapa yang
duduk bersama kita saat kita menikmatinya, siapa yang mengajarkan kita arti
cinta sesungguhnya di atas daun yang terisi seporsi sate, atau sebuah arti kesederhanaan
yang selalu kita kenang saat beranjak dewasa. Yang menjadi pelepas lelah saat
Dunia menuntut kita untuk lebih keras. Maka, momen sederhana itulah yang akan
mengajarkan kita, bahwa hidup jangan terlalu dipaksakan. Cukup dibuat sederhana
dan paham makna syukur yang sebenarnya.