Perempuan hidup dengan berbagai tantangan yang harus mereka hadapi dengan
tindakan maupun perkataan. Meskipun sering dikaitkan dengan perasaan yang lebih
dominan dibandingkan logika, justru di sanalah letak kekuatan mereka—kesetiaan
yang lahir dari ketulusan hati dan dijaga dengan penuh kehormatan.
Sebagai penjaga moral dan martabat, perempuan selalu menempatkan adab dan
tata krama sebagai pondasi dalam setiap langkah mereka. Ketika perempuan
mengikat diri dalam sebuah komitmen, bukan sekadar janji yang terucap, tetapi
sumpah hati yang dijaga dengan utuh, tanpa sedikit pun retak. Begitu pula
dengan konsep kesetiaan yang mengakar kuat dalam diri perempuan Mongondow.
Mereka menjadikan penantian bukan sekadar menunggu, tetapi sebuah bentuk
kesetiaan yang dihormati, lahir dari cinta yang tulus dan keberanian untuk
tetap bertahan. Hal ini tercermin dalam budaya Mongondow yang menjunjung tinggi
nilai "Ki Bata"—sebuah filosofi yang menggambarkan penantian sebagai
bentuk keteguhan hati dan kesetiaan yang tak tergoyahkan.
Sebuah pemahaman yang disusun melalui penghayatan serta pemaknaan mendalam
terhadap Lagu Ki Bata yang dipopulerkan oleh Bernard Ginupit dan
diaransemen ulang oleh Band Lokal, Braga Mongondow, bukan sekadar melodi khas
dengan aransemennya yang menggugah siapa saja yang mendengar, tetapi juga
pengingat bahwa perempuan Mongondow memiliki jiwa yang penuh keteguhan,
menjadikan kesetiaan sebagai identitas yang melekat erat dalam diri mereka.
Namun, meskipun konsep Ki Bata masih berakar dalam aturan adat dan budaya,
bukan berarti perempuan Mongondow harus terkurung dalam batasan yang kaku.
Kesetiaan tidak harus menjadi belenggu, melainkan bisa diekspresikan dengan
lebih fleksibel sesuai dengan zaman yang terus berubah.
Perempuan Mongondow berhak untuk tetap setia, tetapi juga memiliki kebebasan untuk mendefinisikan kesetiaan itu sendiri, bukan hanya sebagai kewajiban adat, tetapi sebagai pilihan yang mereka ambil dengan penuh kebanggaan dan keikhlasan.