Di depan kontrakanku, terdapat aliran air yang cukup besar—kemarin sempat meluap hingga banjir. Tapi bagiku itu tetaplah sungai yang indah. Ya, sungai. Sebuah nama yang kupilih sendiri dengan sepenuh hati, sebagai sugesti bahwa aku tinggal di kontrakan yang bisa dibilang estetik meski hanya dalam imaji. Airnya mengalir pelan, membawa dedaunan kering yang sesekali tersangkut di bebatuan. Bukan hanya itu saja sampah plastik berkresek-kresek, popok bayi dan beragam sampah lainnya juga ikut berkelibat di sana, dilemparkan oleh mereka sang pemangku pemikiran primitif tanpa mau menerima edukasi.
Setiap sore bersama senja yang perlahan meluruh aku pasti harus menggenggam sesuatu di sana. Entah itu gawai, angin, kadang juga sesederhana harapan. Tetapi kali ini aku ditemani lembaran penuh tulisan. Di sana terlihat mega merah jambu mengambang di atas awan, serupa ragu yang enggan karam ke dasar malam. Di tanganku, sebuah buku dengan sampul merah muda dengan gagasan-gagasan besar yang merayap di dalamnya. Sebuah kolaborasi dari dua pikiran berbeda, La Ode Gusman Nasiru dan Gita Juniarti, terbingkai dalam Memasak Kata-Kata dalam Dapur City Branding. Diterbitkan oleh Eureka Media Aksara pada tahun 2024, buku setebal hampir seratus halaman ini meracik isu dengan bumbu feminisme dan maskulinitas ke dalam potret kehidupan sehari-hari. Menjadi sebuah kebiasaan bagiku setiap membaca tulisan yang bagus. selalu berpikir sebanyak apa buku yang sudah dibaca para penulis sehingga bisa menganalisa banyak hal dan melahirkan karya sekeren ini.
Baca juga; KI BATA, MENAKAR PENANTIAN DAN KESETIAAN MELALUI KACAMATA PEREMPUAN MONGONDOW
Buku ini membahas hal-hal tabu yang seharusnya biasa-biasa saja namun seolah adalah sesuatu tindak amoral bahkan perilaku abnormal. Diskriminasi atau pembedaan perlakuan atas sesama manusia. Berdasarkan pada perbedaan etnis, suku, agama, warna kulit, jenis kelamin, ekonomi dan lain-lain. Menyentuh isu-isu tabu yang begitu dekat dengan kehidupan, seperti ketakutan perempuan memeriksakan kesehatan rahim, atau pandangan negatif tentang menstruasi. Dalam sebuah masyarakat yang canggung menyebutkan hal-hal sederhana seperti “pembalut,” hingga terciptalah sebuah plesetan 'roti' sebagai padanan kata pembalut. Bahkan yang saya soroti beberapa kasus di dalam adalah bujang usia 30an memiliki derajat rendah dibandingkan pria matang yang sudah menikah. Stereotipe gender berupa perempuan itu lemah, gemulai, sopan, santun, banyak bicara. Sementara laki-laki identik dengan ketegasan, kuat, karismatik, kekar dan berwibawa. Lingkunganku pun sama, perempuan cenderung memiliki sifat cerewet atau banyak bicara sedangkan laki-laki yang banyak bercerita? bersiap saja istilah "laki-laki mulut tante-tante" akan dilayangkan.
Perempuan harus bisa memasak, laki-laki harusnya pintar otomotif. Seolah jika tidak memenuhi standar tersebut, laki-laki tidak lagi berwibawa dan perempuan kehilangan keperempuanannya. Laki-laki tidak boleh lemah, sebuah kalimat yang lahir dari rahim haram. Bentuk nyata penyiksaan yang dilegalkan. Padahal, sudah banyak riset dan penelitian yang menunjukkan bahwa toxic masculinity memberikan dampak buruk ke kesehatan mental laki-laki. Selaras dengan lagu yang berisi lirik "laki-laki tak boleh nangis" adalah lagu "Superman" dari The Lucky Laki. Lagu ini diciptakan oleh Ahmad Dhani dan dirilis pada tahun 2009. Bukan hanya itu, belum lama ini viral di media sosial. Berseliweran konten "Laki-laki tidak bercerita". Padahal jika konten-konten seperti ini dikonsumsi secara tidak bijak, justru akan melanggengkan budaya patriarki & toxic masculinity yang ujungnya akan membahayakan & menyengsarakan semuanya. Menyulitkan laki-laki. Membebani perempuan. Kalian masih ingat video penusukan oleh seorang suami kepada istrinya yang melakukan siaran langsung? Ya bisa jadi itulah hasil dari budaya laki-laki nggak bercerita. Ide bahwa laki-laki adalah sosok kuat yang tidak butuh cerita, tidak punya emosi, tidak perlu ke terapi, adalah sebuah ilusi tolol yang tak mesti.
Magrib hampir tiba, di pangkuanku, buku Memasak Kata-Kata dalam Dapur City Branding masih terbuka, menantangku untuk menggali lebih dalam. Aku menarik napas panjang, membiarkan pikiranku mengarungi arus gagasan yang dituangkan dua penulisnya. Membuatku tersadar, kadang akulah pelaku diskriminatif yang sedang kubahas. Tetapi kurasa itu bukan sesuatu yang terbangun dengan sendirinya, melainkan pandangan yang terbangun atas nama adat yang telah membudaya. Buku ini juga menyebutkan tentang ideologi, menarik. Tersebab beberapa hari kemarin pun aku sempat bersenggama dengan lembar buku yang ditulis oleh St. Sunardi, Semiotika Negativa. Dari sudut pandang semiotik, hubungan antara ideologi dan budaya terjalin erat dalam setiap tanda, simbol, dan praktik yang kita temui sehari-hari. Budaya, dalam hal ini, bukan hanya kumpulan kebiasaan atau tradisi, tetapi medan tempat ideologi bersarang, bertarung, dan disampaikan. Misalnya, ketidaknyamanan menyebut kata “pembalut” di ruang publik bukanlah reaksi alami, melainkan hasil konstruksi ideologi patriarki yang telah lama membungkam percakapan tentang tubuh perempuan. Dalam pandangan semiotik, ini adalah proses mitologisasi, di mana ideologi menjadikan sesuatu yang historis (patriarki) tampak alamiah dan tidak dapat digugat. Pemikiran ini dibangun melalui praktik komunikasi sehari-hari. Ketika masyarakat menerima mitos bahwa laki-laki harus tegar atau perempuan harus lembut, mereka menginternalisasi ideologi tersebut sebagai bagian dari budaya. Meme dan narasi viral yang dianggap lucu atau biasa saja sebenarnya mengindikasikan bahwa ideologislah yang memperkuat maskulinitas toksik. Kembali diajak berpikir bahwa di balik setiap fenomena budaya ada pesan ideologis yang bisa—dan bahkan harus—dipertanyakan.
Setiap halaman buku ini seperti pintu kecil menuju ruang diskusi yang berbeda, dari tabu sederhana seperti “pembalut” hingga absurditas iklan laki-laki Korea. Gaya bahasanya ringan, tetapi tajam. Aku terpikat pada cara penulis membedah kehidupan sehari-hari, mengajak pembaca merenung tanpa terasa sedang digurui. Namun, seperti sungai di depanku, tidak semua bagian dari buku ini mengalir mulus. Ada saat-saat argumen terasa ganjil bagiku, seperti ketika membahas pilihan seksualitas seseorang seolah nasib garisan takdir yang ditulis Tuhan. Pendapat ini mungkin akan terdengar radikal, tapi inilah pemahaman yang meskipun seluruh aspek telah dijajah dengan pemahaman gender ala barat, aku percaya bahwa sampai kapanpun laki-laki hanya bisa bersenggama dengan perempuan—pun sebaliknya. Aku menutup buku ini dengan senyuman kecil. Ia bukan tanpa cela, tetapi justru di celah-celah itulah aku menemukan ruang untuk berpikir, merenung, dan mungkin—suatu hari—menulis cerita lain yang lebih dalam tentang feminisme, maskulinitas, dan segala kontradiksi di antaranya.
Satu kalimat membekas dari buku ini, Di balik hitam putih dunia, ada grey area bidang abu-abu. Demikianlah hidup memang selalu menarik untuk direnungkan, tetapi menurutku di dunia ini beberapa hal memang tak sesederhana hitam dan putih. Namun, ada hal-hal yang memang hanya dan dapat didefinisikan sebagai hitam dan putih saja.
0 Komentar