Terik matahari menyiram air mukaku lewat jendela kamar. Sinar panas itu menusuk lelap tidurku hingga berleleran keringat persis anak laki-laki yang dianugerahi mimpi basah. Segera aku beranjak dari atas ranjang dan bersungut kesal membuka jendela lebar-lebar, membiarkan dengan pasrah matahari mengusai kamarku sepenuhnya. Padahal baru pukul sepuluh, matahari belum sempurna tiba di ubun-ubun langit. Tetapi kotaku sudah bulat dibungkus panas. Aku menduga Tuhan menyelipkan bara api yang diambilnya dari neraka untuk disusup pada lapisan langit Gorontalo. Sinarnya yang dua kali lipat itu bersemayam menembus kulit, mungkin Tuhan memberitahu agar orang-orang lekas mengingat doa dan dosa.
Tidak ada yang istimewa dari bangun
kesiangan tersebab rumah sudah lengang. Penghuninya pergi menunaikan aktivitas,
hanya ada jam dinding yang berdengung tak jelas. Sejak awal, pagiku terasa
pahit getah mengkudu. Sebabnya tak lain karena sejak awal matahari sudah aku
maki. Kalau saja tetangga sialan tidak mencibirku sebulan yang lalu, aku sudah
mengajak David untuk menghidupi rumah sunyi ini. Nahas sekali pada Syaban bulan
sebelumnya, tetanggaku menyalakan sumbu api bapak hingga amarah dalam dadanya
membuncah menghukumku.
“Kau yakin kita tidak dilaporkan ke
bapakmu?”
“Mereka cuman iri hati, sudahlah biarkan
saja.”
Tibalah waktu yang celaka, rahasia yang
tersaput didekam diam-diam itu terpecah sudah. Hingga tiba di dinding telinga
bapak.
Bapak tidak menyukai David, tiap hari aku
dilimpahi ceramah berbagai macam hadis sahih sahabat nabi atau wejangan Sultan
Amai sang legenda keluarga. Nama Sultan Amai tentu tidak sebesar Sultan
Hasanuddin, Ayam Jantan dari Timur. Amai yang bergelar sultan pun tidak masuk
dalam silsilah raja Jawa yang lazim diucap anak-anak sekolah. Ia bukan
Airlangga, bukan Brawijaya, dan mungkin tidak sehebat Mahapatih Gajah Mada.
Meski begitu di Gorontalo, sebuah daerah kecil di jantung pulau Sulawesi, Amai
adalah sosok yang patut untuk selalu dikenang. Pernikahannya dengan seorang
putri membuat ia bertekad menjadi raja yang bijaksana dan berjalan dalam iman
hamba yang saleh. Itulah mengapa Gorontalo yang mengasuhnya sebagai anak
kandung kini dikenal sebagai Serambi Madinah.
Bapak yang sudah ringkih dan terus mengomel
berkali-kali mengecamku. Kata bapak, David sukar membuka pintu surga. Darah
kristus yang mengalir di tubuhnya sangat bertentangan dengan syariat yang subur
dikandung badanku.
“Sudah berkali-kali dibilang, bapak tidak
restui kau dengan dia!”
“Soal agama kita bisa bicarakan baik-baik,
Pak. David bisa belajar, Sultan Amai juga mulanya belajar, kan?”
“Jangan kau berani samakan dia dengan
Sultan Amai! Tidak sudi bapak punya menantu yang tidak taat.”
Aku cuman bisa menghela napas mendengar
alibi bapak. Ia selalu membandingi nasib kesalehannya dengan kekasihku. Betapa
bapak tidak tahu David dan keluarganya juga tergolong sebagai orang yang taat
beribadah. Sampai sekarang tak sekalipun David meneguk kesucianku (dengan
setengah paksa), meski rumah yang kadang sepi berisik oleh nafsu dan napas
libidanal yang tak henti-hentinya berembus di jantung David sebagai seorang
lelaki.
Bapak mengelak David karena dia berbeda,
berkali-kali diingatkan bahwa garis hidupku diikat oleh falsafah agama.
Dipersunting dengan sakinah bukan malah mengais kasih dari iman yang beda.
Kesalehan Sultan Amai yang amat kesohor
dan terpandang selalu menjadi legenda di keluarga, mahar masjid yang
diagung-agungkan para tetua kampung menjadi bahan perbandingan setiap
menikahkan seorang anak. Aku tidak bisa meminta hal yang sama pada kekasihku.
Baca Juga; Tugas Baru Ojol: Jadi Alarm Darurat Buat Bangunin Pacar si CS yang Kesiangan
****
Terhitung selepas kejadian yang melerai
hubunganku dengan David. Hari-hariku dijalani penuh membopong perasaan tak karuan.
Mungkin bapak sedang ancang-ancang mencarikan jodoh lain yang hampir mampu
menyamai kesalehan sang Sultan. Mungkin tenaga pengajar di pesantren atau ketua
majelis. Aku tidak tahu sampai kapan nasib ini dicekal.
Kabar terakhir David sedang berupaya
meyakinkan keluarganya untuk mempersuntingku dengan sakinah. Meski bukan dari
keluarga yang terpandang, David mencoba mengikuti falsafah yang dianut
keluargaku. Aku tahu pemuda itu pasti bisa, dia bukan lagi remaja kencur tak
cukup umur yang baru kemarin sore mabuk asmara. Manisnya David selalu berusaha, semoga takdir tidak menjungkir-balikkan
semuanya.
Sementara di lain hari, bapak tidak pupus
mencarikanku lelaki lain. Suasana semakin kemelut ketika kabar burung mulai
mampir di pintu kamarku. Aku yang dipasung jiwanya dalam rumah ini akhirnya
memutuskan ikut Narti, sahabatku untuk mencari jawaban.
Narti acap kali bolak-balik ke kamar untuk
terus menginformasikan gelagat bapak yang katanya makin aneh. Kata orang-orang
bapak sibuk sekali bertemu dengan warga lain di kelurahan sebelah. Kecurigaanku
mulai menajam pada beberapa pemuda yang sepertinya lolos kandidat standarnya
bapak.
“Kau yakin yang ini Narti? Apa torang tidak salah orang?”
Narti mengangguk semangat. Pemuda yang
sedang duduk di teras masjid bersama anak-anak itu tampak saleh, lagi-lagi sesuai dengan perawakan Sultan Amai. Idaman
bapak.
“Aku tidak mau dipersunting guru ngaji,
Narti.”
“Kiapa
so?”
“Tak ada urusan dunia di kepala mereka,
bukan tipeku.”
Pelan-pelan aku melongos pergi, memudarkan
semangat Narti mencari tahu.
“Aku masih ada orang lain lagi, dia ini
kemarin ketemu bapakmu. Mungkin saja lagi membicarakan perjodohan, kan?”
Aku mendengus kesal, bapak sungguh niat.
Bagaimana tidak ia menyiapkan beberapa orang untuk melengserkan David.
Moga-moga mukjizat yang musygil itu
diilhami bapak biar dia merestuiku dengan David saja. Sudah tahun sekarang,
mencari sosok Sultan Amai di tubuh orang lain adalah hal yang munafik. Lagian
hidupku bukan lagi putri kerajaan yang harus dijodoh-jodohkan. Legenda itu
hanya perlu dikenang, tidak usah payah ditiru.
Hari yang abu-abu itu akhirnya aku gunakan
bersama Narti untuk mencari pemuda-pemuda yang dicurigai sudah membicarakan
dengan bapak terkait peminanganku. Tidak ada yang menarik satupun, malah buatku
terdera rasa nyeri di dada. Sementara nama David tak pernah sekalipun lepas
dari pinta dan doaku
***
Tiga bulan purna di belakang, bapak dengan
gagahnya menyungging senyum di hadapanku. Mulai tercium bau iming-iming akan
sesuatu. Sepertinya proyek bapak
menemukan Sultan Amai versi pemuda masa kini berbuah hasil. Aku memelas
dan meliriknya sekejap dengan malas. Kata bapak pemuda itu sudah duduk di ruang
tamu bersiap menemuiku.
“[1]Nou, bapak
menemukan pendamping yang baik buatmu. Kau akan hidup makmur di tangannya.”
“Apa dia sanggup memberi mahar masjid
seperti Sultan Amai?”
Belum mendapat jawaban bapak, mendadak
depan rumah sudah ramai. Suara arak-arakan dari orang banyak mulai terdengar
menembus dinding rumah. Terlintas satu nama di benakku, senyum simpul mulai
merekah tak samar seperti sedia kala.
“David!”
Lelaki itu, dia nyata kembali menghadapku
membawa orang seramai ini.
“Alhamdulillah, aku siap ketemu bapak.”
Tekadnya yang lebih bulat daripada bumi menjadi pembuka percakapan yang
terdengar serak dari bibirnya. David rida mengikuti falsafah hidup yang terus
dibicarakan bapak.
Melihat keramaian itu bapak malah tidak
suka, ia merasa sungkan dengan pemuda yang dipilih akan meminangku. Aku tidak
peduli dia duduk di ruang tamu.
“Aku tetap menolakmu, kau tidak pantas
menghidupi anakku,” telak bapak
Semua terdiam, kebingungan dengan sikap
bapak yang tanpa aba-aba menolak David sebelum aku buka suara.
Diajaknya pemuda yang menunggu di ruang
tamu ituu menuju teras rumah, alih-alih diperkenalkan pada orang-orang. David
justru terbelalak kaget.
Pemuda
itu juga terperangah melihat David, Orang-orang kian bergemul kebingungan.
“Apa
dia lelaki pilihan bapak untuk nikah denganmu?”
Aku
memandang lirih ke arah David.
“Apa
bedanya dia dan aku, Pak? Dulu kami bahkan sering ibadah minggu di gereja yang
sama. Ke mana kriteria Sultan Amai yang bapak agung-agungkan itu?” David
berusaha mencari pembelaan yang nihil di pihaknya.
0 Komentar