Header Ads Widget

Responsive Advertisement

BERSAYAP UANG KERTAS

 

Penulis; Nurgian Utina


Terik matahari menyiram air mukaku lewat jendela kamar. Sinar panas itu menusuk lelap tidurku hingga berleleran keringat persis anak laki-laki yang dianugerahi mimpi basah. Segera aku beranjak dari atas ranjang dan bersungut kesal membuka jendela lebar-lebar, membiarkan dengan pasrah matahari mengusai kamarku sepenuhnya. Padahal baru pukul sepuluh, matahari belum sempurna tiba di ubun-ubun langit. Tetapi kotaku sudah bulat dibungkus panas. Aku menduga Tuhan menyelipkan bara api yang diambilnya dari neraka untuk disusup pada lapisan langit Gorontalo. Sinarnya yang dua kali lipat itu bersemayam menembus kulit, mungkin Tuhan memberitahu agar orang-orang lekas mengingat doa dan dosa.

Tidak ada yang istimewa dari bangun kesiangan tersebab rumah sudah lengang. Penghuninya pergi menunaikan aktivitas, hanya ada jam dinding yang berdengung tak jelas. Sejak awal, pagiku terasa pahit getah mengkudu. Sebabnya tak lain karena sejak awal matahari sudah aku maki. Kalau saja tetangga sialan tidak mencibirku sebulan yang lalu, aku sudah mengajak David untuk menghidupi rumah sunyi ini. Nahas sekali pada Syaban bulan sebelumnya, tetanggaku menyalakan sumbu api bapak hingga amarah dalam dadanya membuncah menghukumku.

“Kau yakin kita tidak dilaporkan ke bapakmu?”

“Mereka cuman iri hati, sudahlah biarkan saja.”

Tibalah waktu yang celaka, rahasia yang tersaput didekam diam-diam itu terpecah sudah. Hingga tiba di dinding telinga bapak.

Bapak tidak menyukai David, tiap hari aku dilimpahi ceramah berbagai macam hadis sahih sahabat nabi atau wejangan Sultan Amai sang legenda keluarga. Nama Sultan Amai tentu tidak sebesar Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan dari Timur. Amai yang bergelar sultan pun tidak masuk dalam silsilah raja Jawa yang lazim diucap anak-anak sekolah. Ia bukan Airlangga, bukan Brawijaya, dan mungkin tidak sehebat Mahapatih Gajah Mada. Meski begitu di Gorontalo, sebuah daerah kecil di jantung pulau Sulawesi, Amai adalah sosok yang patut untuk selalu dikenang. Pernikahannya dengan seorang putri membuat ia bertekad menjadi raja yang bijaksana dan berjalan dalam iman hamba yang saleh. Itulah mengapa Gorontalo yang mengasuhnya sebagai anak kandung kini dikenal sebagai Serambi Madinah.

 Bapak yang sudah ringkih dan terus mengomel berkali-kali mengecamku. Kata bapak, David sukar membuka pintu surga. Darah kristus yang mengalir di tubuhnya sangat bertentangan dengan syariat yang subur dikandung badanku.

“Sudah berkali-kali dibilang, bapak tidak restui kau dengan dia!”

“Soal agama kita bisa bicarakan baik-baik, Pak. David bisa belajar, Sultan Amai juga mulanya belajar, kan?”

“Jangan kau berani samakan dia dengan Sultan Amai! Tidak sudi bapak punya menantu yang tidak taat.”

Aku cuman bisa menghela napas mendengar alibi bapak. Ia selalu membandingi nasib kesalehannya dengan kekasihku. Betapa bapak tidak tahu David dan keluarganya juga tergolong sebagai orang yang taat beribadah. Sampai sekarang tak sekalipun David meneguk kesucianku (dengan setengah paksa), meski rumah yang kadang sepi berisik oleh nafsu dan napas libidanal yang tak henti-hentinya berembus di jantung David sebagai seorang lelaki.

Bapak mengelak David karena dia berbeda, berkali-kali diingatkan bahwa garis hidupku diikat oleh falsafah agama. Dipersunting dengan sakinah bukan malah mengais kasih dari iman yang beda.

Kesalehan Sultan Amai yang amat kesohor dan terpandang selalu menjadi legenda di keluarga, mahar masjid yang diagung-agungkan para tetua kampung menjadi bahan perbandingan setiap menikahkan seorang anak. Aku tidak bisa meminta hal yang sama pada kekasihku.

Baca Juga; Tugas Baru Ojol: Jadi Alarm Darurat Buat Bangunin Pacar si CS yang Kesiangan

                   SEBUAH SURAT DARI TENGGARONG

 

****

Terhitung selepas kejadian yang melerai hubunganku dengan David. Hari-hariku dijalani penuh membopong perasaan tak karuan. Mungkin bapak sedang ancang-ancang mencarikan jodoh lain yang hampir mampu menyamai kesalehan sang Sultan. Mungkin tenaga pengajar di pesantren atau ketua majelis. Aku tidak tahu sampai kapan nasib ini dicekal.

Kabar terakhir David sedang berupaya meyakinkan keluarganya untuk mempersuntingku dengan sakinah. Meski bukan dari keluarga yang terpandang, David mencoba mengikuti falsafah yang dianut keluargaku. Aku tahu pemuda itu pasti bisa, dia bukan lagi remaja kencur tak cukup umur yang baru kemarin sore mabuk asmara. Manisnya David selalu berusaha, semoga takdir tidak menjungkir-balikkan semuanya.

Sementara di lain hari, bapak tidak pupus mencarikanku lelaki lain. Suasana semakin kemelut ketika kabar burung mulai mampir di pintu kamarku. Aku yang dipasung jiwanya dalam rumah ini akhirnya memutuskan ikut Narti, sahabatku untuk mencari jawaban.

Narti acap kali bolak-balik ke kamar untuk terus menginformasikan gelagat bapak yang katanya makin aneh. Kata orang-orang bapak sibuk sekali bertemu dengan warga lain di kelurahan sebelah. Kecurigaanku mulai menajam pada beberapa pemuda yang sepertinya lolos kandidat standarnya bapak.

“Kau yakin yang ini Narti? Apa torang tidak salah orang?”

Narti mengangguk semangat. Pemuda yang sedang duduk di teras masjid bersama anak-anak itu tampak saleh, lagi-lagi sesuai dengan perawakan Sultan Amai. Idaman bapak.

“Aku tidak mau dipersunting guru ngaji, Narti.”

Kiapa so?”

“Tak ada urusan dunia di kepala mereka, bukan tipeku.”

Pelan-pelan aku melongos pergi, memudarkan semangat Narti mencari tahu.

“Aku masih ada orang lain lagi, dia ini kemarin ketemu bapakmu. Mungkin saja lagi membicarakan perjodohan, kan?”

Aku mendengus kesal, bapak sungguh niat. Bagaimana tidak ia menyiapkan beberapa orang untuk melengserkan David.

Moga-moga mukjizat yang musygil itu diilhami bapak biar dia merestuiku dengan David saja. Sudah tahun sekarang, mencari sosok Sultan Amai di tubuh orang lain adalah hal yang munafik. Lagian hidupku bukan lagi putri kerajaan yang harus dijodoh-jodohkan. Legenda itu hanya perlu dikenang, tidak usah payah ditiru.

Hari yang abu-abu itu akhirnya aku gunakan bersama Narti untuk mencari pemuda-pemuda yang dicurigai sudah membicarakan dengan bapak terkait peminanganku. Tidak ada yang menarik satupun, malah buatku terdera rasa nyeri di dada. Sementara nama David tak pernah sekalipun lepas dari pinta dan doaku

***

 

Tiga bulan purna di belakang, bapak dengan gagahnya menyungging senyum di hadapanku. Mulai tercium bau iming-iming akan sesuatu. Sepertinya proyek bapak  menemukan Sultan Amai versi pemuda masa kini berbuah hasil. Aku memelas dan meliriknya sekejap dengan malas. Kata bapak pemuda itu sudah duduk di ruang tamu bersiap menemuiku.

[1]Nou, bapak menemukan pendamping yang baik buatmu. Kau akan hidup makmur di tangannya.”

“Apa dia sanggup memberi mahar masjid seperti Sultan Amai?”

Belum mendapat jawaban bapak, mendadak depan rumah sudah ramai. Suara arak-arakan dari orang banyak mulai terdengar menembus dinding rumah. Terlintas satu nama di benakku, senyum simpul mulai merekah tak samar seperti sedia kala.

“David!”

Lelaki itu, dia nyata kembali menghadapku membawa orang seramai ini.

“Alhamdulillah, aku siap ketemu bapak.” Tekadnya yang lebih bulat daripada bumi menjadi pembuka percakapan yang terdengar serak dari bibirnya. David rida mengikuti falsafah hidup yang terus dibicarakan bapak.

Melihat keramaian itu bapak malah tidak suka, ia merasa sungkan dengan pemuda yang dipilih akan meminangku. Aku tidak peduli dia duduk di ruang tamu.

“Aku tetap menolakmu, kau tidak pantas menghidupi anakku,” telak bapak

Semua terdiam, kebingungan dengan sikap bapak yang tanpa aba-aba menolak David sebelum aku buka suara.

Diajaknya pemuda yang menunggu di ruang tamu ituu menuju teras rumah, alih-alih diperkenalkan pada orang-orang. David justru terbelalak kaget.

            Pemuda itu juga terperangah melihat David, Orang-orang kian bergemul kebingungan.

            “Apa dia lelaki pilihan bapak untuk nikah denganmu?”

            Aku memandang lirih ke arah David.

            “Apa bedanya dia dan aku, Pak? Dulu kami bahkan sering ibadah minggu di gereja yang sama. Ke mana kriteria Sultan Amai yang bapak agung-agungkan itu?” David berusaha mencari pembelaan yang nihil di pihaknya.

            Aku ikut tersulut emosi, pijar kecewa bisa aku lihat dari bola mata David. Aku tidak tahu muasal pemuda itu. Bapak sungguh egois, dia nyatanya bukan memburu lelaki figur Sultan Amai. Bapak mencari laki-laki yang bersayap uang kertas, tidak peduli ketuhanan sesuai syariat atau tidak. Nasibku diobral bapak tanpa pandang agama.




[1] Panggilan gadis (Gorontalo)

Posting Komentar

0 Komentar