Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PERPUSTAKAAN KAMPUS YANG MATI SURI DI UJUNG SENJA

 

Penulis; Wahyudistira Moki



            Di pagi yang belum begitu ramai, saat Matahari sudah mendekati posisi setengah telinga, saya duduk santai di pelataran lapangan Rektorat kampus. Sambil menunggu bus kampus yang akan membawa saya pergi menuju fakultas kebanggaan yang terletak sekitar setengah jam dari pusat Rektorat. Tak lupa menikmati secangkir kopi instan yang dibeli dari pedagang kaki lima. Di tengah keheningan dan sesekali riuh mahasiswa berlalu lalang, terdengar sayup-sayup obrolan sekelompok mahasiswa dari arah selatan yang membicarakan topik menarik, yang berbicara mengenai angka literasi di daerahku berkuliah, di Gorontalo tepatnya. Katanya, angka literasi di daerah ini sangat disayangkan. Atau—jangan berfokus meluas ke masyarakat. Tapi, lihatlah lebih mengecil arah pandangan ke Mahasiswa yang ada di kampus. Masih ada juga mahasiswa yang jarang baca buku. Hal ini tentu menjadi sebuah tanda tanya besar kepada mahasiswa yang katanya agen perubahan, tetapi baca buku saja masih malas-malasan. Mendengarnya aku mulai tertarik dan lebih lama berfokus ke arah suara itu agar bisa kudengar lebih rinci. Namun, sebuah kalimat membuat kopi di perutku merasakan getaran yang tak ada habisnya.

            “Padahal kampus ini telah memberikan fasilitas perpustakaan yang memadai, namun, setiap harinya mahasiswa yang berkunjung tak juga lebih banyak dari seisi Fakultas yang paling sedikit di kampus ini.” Kata mereka demikian.

            Muncul satu pertanyaan di benakku, Apakah mereka mengira bahwa Perpustakaan mampu menanggulangi krisis literasi yang ada di kampus? Jawabannya iya. Jika Perpustakaan yang ada di kampus ini bisa diubah dengan beberapa kebijakan dan aturan yang Rasionl. Bayangkan saja, Jam operasional perpustakaan yang hanya dibuka dari pukul delapan pagi hingga empat sore jelas tidak sesuai dengan ritme perkuliahan banyak mahasiswa. Banyak dari mereka yang baru selesai kuliah menjelang sore hari, tepat saat perpustakaan tutup. Akibatnya, hanya sebagian kecil mahasiswa yang benar-benar bisa memanfaatkan perpustakaan, itupun terbatas pada mereka yang memiliki waktu kosong di siang hari atau sedang menyusun skripsi.

            Dengan kebijakan yang seperti itu, bagaimana mungkin perpustakaan dapat memainkan peran signifikan dalam meningkatkan literasi? Jawabannya cukup jelas—tidak mungkin. Sebab kebijakan yang diterapkan tidak selaras dengan pola aktivitas mahasiswa yang menjadi target utamanya. Perpustakaan bukan sekadar tempat yang menyediakan buku, tetapi juga Perpustakaan harus mengambil langkah untuk menciptakan ruang yang ramah, inklusif, dan dapat diakses kapan pun dibutuhkan.

            Sebagai pembanding, saya ingin mengangkat contoh dari sebuah perpustakaan di daerah Gorontalo yang menerapkan sistem operasional 24 jam. Perpustakaan ini bukan hanya menyediakan akses terhadap buku setiap waktu, tetapi juga menjadi tempat produktif bagi mahasiswa untuk mengerjakan tugas dan menyusun skripsi. Lebih jauh lagi, mereka mengembangkan model kolaboratif dengan menghadirkan kedai kopi di sekitar area perpustakaan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kenyamanan pengunjung, tetapi juga menjadikan perpustakaan sebagai pusat aktivitas akademik yang hidup, bahkan di malam hari.

            Transformasi seperti ini seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi perpustakaan kampus di bawah otonomi universitas. Perpustakaan tidak seharusnya menjadi ruang sunyi yang hanya hidup selama seperempat hari saja. Sebaliknya, ia harus menjadi ruang dinamis yang mendukung kegiatan belajar dan literasi mahasiswa kapan pun itu dibutuhkan. Karena pada akhirnya, wilayah yang memiliki tingkat literasi tinggi adalah wilayah yang mampu menghidupkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai pusat intelektual yang terbuka, adaptif, dan bersahabat bagi penggunanya dan mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan zaman yang bersahabat dengan Mahasiswanya.

Posting Komentar

1 Komentar