Di pagi yang belum begitu
ramai, saat Matahari sudah mendekati posisi setengah telinga, saya duduk santai
di pelataran lapangan Rektorat kampus. Sambil menunggu bus kampus yang akan
membawa saya pergi menuju fakultas kebanggaan yang terletak sekitar setengah jam dari pusat
Rektorat. Tak lupa menikmati secangkir kopi instan yang dibeli dari pedagang kaki
lima. Di tengah keheningan dan sesekali riuh mahasiswa berlalu lalang,
terdengar sayup-sayup obrolan sekelompok mahasiswa dari arah selatan yang membicarakan
topik menarik, yang berbicara mengenai angka literasi di daerahku berkuliah, di
Gorontalo tepatnya. Katanya, angka literasi di daerah ini sangat disayangkan. Atau—jangan
berfokus meluas ke masyarakat. Tapi, lihatlah lebih mengecil arah pandangan ke
Mahasiswa yang ada di kampus. Masih ada juga mahasiswa yang jarang baca buku. Hal
ini tentu menjadi sebuah tanda tanya besar kepada mahasiswa yang katanya agen
perubahan, tetapi baca buku saja masih malas-malasan. Mendengarnya aku mulai
tertarik dan lebih lama berfokus ke arah suara itu agar bisa kudengar lebih
rinci. Namun, sebuah kalimat membuat kopi di perutku merasakan getaran yang tak
ada habisnya.
“Padahal kampus ini telah memberikan
fasilitas perpustakaan yang memadai, namun, setiap harinya mahasiswa yang
berkunjung tak juga lebih banyak dari seisi Fakultas yang paling sedikit di
kampus ini.” Kata mereka demikian.
Muncul satu pertanyaan di
benakku, Apakah mereka mengira bahwa Perpustakaan mampu menanggulangi krisis
literasi yang ada di kampus? Jawabannya iya. Jika Perpustakaan yang ada di
kampus ini bisa diubah dengan beberapa kebijakan dan aturan yang Rasionl. Bayangkan
saja, Jam operasional perpustakaan yang hanya dibuka dari pukul delapan pagi
hingga empat sore jelas tidak sesuai dengan ritme perkuliahan banyak mahasiswa.
Banyak dari mereka yang baru selesai kuliah menjelang sore hari, tepat saat
perpustakaan tutup. Akibatnya, hanya sebagian kecil mahasiswa yang benar-benar
bisa memanfaatkan perpustakaan, itupun terbatas pada mereka yang memiliki waktu
kosong di siang hari atau sedang menyusun skripsi.
Dengan kebijakan yang
seperti itu, bagaimana mungkin perpustakaan dapat memainkan peran signifikan
dalam meningkatkan literasi? Jawabannya cukup jelas—tidak mungkin. Sebab
kebijakan yang diterapkan tidak selaras dengan pola aktivitas mahasiswa yang
menjadi target utamanya. Perpustakaan bukan sekadar tempat yang menyediakan buku, tetapi
juga Perpustakaan harus mengambil langkah untuk menciptakan ruang yang ramah, inklusif, dan dapat diakses kapan pun
dibutuhkan.
Sebagai pembanding, saya
ingin mengangkat contoh dari sebuah perpustakaan di daerah Gorontalo yang
menerapkan sistem operasional 24 jam. Perpustakaan ini bukan hanya menyediakan
akses terhadap buku setiap waktu, tetapi juga menjadi tempat produktif bagi
mahasiswa untuk mengerjakan tugas dan menyusun skripsi. Lebih jauh lagi, mereka
mengembangkan model kolaboratif dengan menghadirkan kedai kopi di sekitar area
perpustakaan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kenyamanan pengunjung,
tetapi juga menjadikan perpustakaan sebagai pusat aktivitas akademik yang
hidup, bahkan di malam hari.
Transformasi seperti ini
seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi perpustakaan kampus di bawah otonomi
universitas. Perpustakaan tidak seharusnya menjadi ruang sunyi yang hanya hidup
selama seperempat hari saja. Sebaliknya, ia harus menjadi ruang dinamis yang
mendukung kegiatan belajar dan literasi mahasiswa kapan pun itu dibutuhkan.
Karena pada akhirnya, wilayah yang memiliki tingkat literasi tinggi adalah
wilayah yang mampu menghidupkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai pusat
intelektual yang terbuka, adaptif, dan bersahabat bagi penggunanya dan mampu mengimbangi
kemajuan dan perkembangan zaman yang bersahabat dengan Mahasiswanya.
1 Komentar
Mantap Kak
BalasHapus