ROMAN PICISAN DEMOKRASI
I
Cinta adalah eksodus dari
dogma—
sebuah kebebasan yang tak
tunduk
pada dokumen resmi atau
aturan negara
Namun aku mencintainya
dan cinta itu bertubuh
subversif
Dialah silsilah yang
dibaptis
oleh suara mayoritas
Aku bertumbuh di rumah
yang mengaji
dengan nada minor
Kami menyentuh
dalam bahasa yang tak
diakui negara
saling meraba keyakinan
dengan jari-jari yang
gemetar
di bilik suara
II
Ayah menyalakan radio
tapi yang terdengar hanya
janji. dan sirkus. dan
tawa
yang dibayar.
“Nak,” katanya
“Demokrasi itu kabaret—
panggung terbuka jumawa,
lakonnya sudah ditentukan tuannya.”
Kau pikir cinta kalian
salah?
bukan. yang salah itu
garis-garis pada peta
dan tinta di jari
yang katanya suci
tapi takut mati.
MENCINTAIMU
Aku mencintaimu dan mencintaimu—
saat negeri lupa cara waras
aturan dicabik
harga melonjak bagai sumpah serapah
penguasa sibuk
menulis ulang makna keadilan
sementara kita
menghitung sisa napas dan cicilan
Cinta kita bukan slogan kampanye
atau janji yang lupa ditagih
ini nyata dan keras kepala
seperti bertahan hidup—dan tetap jatuh cinta
Biarlah dunia bersilang kata,
kita selalu ingin muda—
istirahat dan kerja
kerja lalu istirahat
selamanya, seterusnya.
AKAN KUTUMBANGKAN REZIM UNTUKMU
Akan kugulingkan kursi-kursi
yang terlalu nyaman diduduki para penguasa
lalu kulempar mikrofon ke laut lepas
dan mengganti pidato dengan bisik namamu
di tengah kerusuhan yang disiarkan langsung
Jika mencintaimu adalah makar
maka biar aku menjadi dalangnya
merancang kudeta dengan sepucuk surat
dan sepasang mata yang tak tunduk pada negara
Kukelabui gempa seluas pematang—
untuk meruntuhkan tembok antara kita
dan segala birokrasi yang melarangku
menyebutmu:
Cinta.
(2025)
0 Komentar