SYAWAL DALAM STOPLES DAN NAMPAN

Penulis; Salman Alade




Syawal dalam Stoples dan Nampan

Aku pulang

melewati landasan Djalaludin yang masih basah

dan sawah yang menyimpan debur doa ibu.


Syawal di tanah ini

tak hanya sambutan kue kerawang dan lemper,

tapi juga aroma dupa dari rumah tua

yang menyimpan kenangan lebih dari sekadar bau kayu lapuk.

Di atas meja panjang, stoples-stoples bening berjajar

seperti ingatan yang disusun rapi tapi tak pernah benar-benar tertutup.


Aku duduk di tikar pandan

diapit tanya dan cerita masa kecil,

ada nama-nama yang tak lagi ikut salaman—

mereka kini hanya terucap dalam takbir lirih.

Nampan berisi kue dan air gelas plastik berembun,

jadi pengganti tangan-tangan yang dulu menyambut paling dulu.


Ramadan berlalu

tapi Syawal menuntut lebih:

berdamai dengan yang pernah membuat luka

dan memeluk tanah yang diam-diam rindu langkah kita.




Peluk Takbir dari Dapur


Hari-hari penuh wewangian itu datang lagi,

dan aku masih berdiri di dapur

mengaduk santan dan air mata dalam periuk besar.


Anak-anakku,


yang dulu kuajarkan menyentuh air dengan doa,

kini pulang hanya sekali setahun,

membawa baju baru

namun menyimpan luka yang belum sempat dibasuh maaf.


Aku tak banyak tanya,

hanya berharap tangan-tangan mereka

mau kembali mencium tanganku dengan jujur.


Perayaan tak pernah benar-benar terjadi,

kalau bukan hati yang dilebarkan lebih dulu

—dan dapur menjadi saksi sunyi

antara aroma opor dan takbir yang tertahan.




Baju Baru dan Jalan Setapak

Aku bangun lebih pagi

dari ayam jantan yang biasa ribut di belakang rumah.

Baju baruku wangi sabun

dan masih ada lipatan kayak kertas baru.

Sepatuku mengkilat,

seperti harapan di mata Ibu yang diam-diam senyum.


Kami jalan kaki ke masjid,

lewat pohon jambu dan batu yang dulu jadi mainanku.

Di sana, suara takbir menggetarkan udara,

seperti lagu yang aku belum hafal tapi suka dengar.


Aku tak tahu banyak tentang puasa enam hari

atau dosa yang dihapuskan.

Tapi aku tahu,

Syawal itu saat semua orang jadi lebih sayang.


Dan setiap peluk,

ada sesuatu yang sembuh diam-diam.




Sestoples Maaf

Aku datang

saat langit mulai tenang

dan bumi basah oleh air mata Ramadan.


Di tanah ini,

aku masuk lewat pintu rumah-rumah tua

yang masih menyimpan dupa, dan suara salam

yang patah-patah karena rindu.


Aku bukan sekadar hari raya.

Aku adalah jeda—antara luka dan pemulihan,

antara gengsi dan pelukan.


Aku menyaksikan:

ibu-ibu membungkus maaf dalam stoples kue kerawang,

lelaki yang diam-diam menangis di makam bapaknya,

anak rantau yang pulang tak hanya bawa koper

tapi juga keberanian untuk meminta maaf.


Aku Syawal,

bukan sekadar tanggal di kalender yang dicetak gembira,

tapi lorong sunyi tempat hati belajar berjalan lagi—

meski tertatih, meski sembunyi-sembunyi.

Aku bukan yang membuatmu pulang,

tapi yang diam-diam membuka pintu

bahkan ketika kamu belum berani mengetuk.




Kisah dari Belakang Dapur

Aku lahir di halaman belakang,

disambut butiran jagung dan tangan-tangan kecil

yang tak tahu bahwa suatu hari

aku akan jadi lauk di hari paling suci.


Syawal, bagiku,

adalah suara tawa dari ruang depan,

air kobokan yang hangat,

dan panci besar yang baunya mirip perpisahan.


Ramadan,

adalah saat mereka jadi lebih baik padaku:

makanku ditambah, kandangku dibersihkan,

bahkan doa sempat dipanjatkan sebelum pisau ditajamkan.


Tapi bukankah begitu juga manusia?

Disanjung dalam sujud,

lalu dilupakan begitu salam diucap.


Aku tidak marah.

Aku hanya ingin dikenang—

bukan sebagai lauk di atas nasi hangat,

tapi sebagai sesuatu yang juga pernah hidup

dan belajar pasrah dengan tenang.


Ah, Syawal...

tak semua yang berkorban

sempat disebut dalam doa.


(Syawal, 2025)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama