Syawal dalam Stoples dan Nampan
Aku pulang
melewati landasan Djalaludin yang masih basah
dan sawah yang menyimpan debur doa ibu.
Syawal di tanah ini
tak hanya sambutan kue kerawang dan lemper,
tapi juga aroma dupa dari rumah tua
yang menyimpan kenangan lebih dari sekadar bau kayu lapuk.
Di atas meja panjang, stoples-stoples bening berjajar
seperti ingatan yang disusun rapi tapi tak pernah benar-benar tertutup.
Aku duduk di tikar pandan
diapit tanya dan cerita masa kecil,
ada nama-nama yang tak lagi ikut salaman—
mereka kini hanya terucap dalam takbir lirih.
Nampan berisi kue dan air gelas plastik berembun,
jadi pengganti tangan-tangan yang dulu menyambut paling dulu.
Ramadan berlalu
tapi Syawal menuntut lebih:
berdamai dengan yang pernah membuat luka
dan memeluk tanah yang diam-diam rindu langkah kita.
Peluk Takbir dari Dapur
Hari-hari penuh wewangian itu datang lagi,
dan aku masih berdiri di dapur
mengaduk santan dan air mata dalam periuk besar.
Anak-anakku,
yang dulu kuajarkan menyentuh air dengan doa,
kini pulang hanya sekali setahun,
membawa baju baru
namun menyimpan luka yang belum sempat dibasuh maaf.
Aku tak banyak tanya,
hanya berharap tangan-tangan mereka
mau kembali mencium tanganku dengan jujur.
Perayaan tak pernah benar-benar terjadi,
kalau bukan hati yang dilebarkan lebih dulu
—dan dapur menjadi saksi sunyi
antara aroma opor dan takbir yang tertahan.
Baju Baru dan Jalan Setapak
Aku bangun lebih pagi
dari ayam jantan yang biasa ribut di belakang rumah.
Baju baruku wangi sabun
dan masih ada lipatan kayak kertas baru.
Sepatuku mengkilat,
seperti harapan di mata Ibu yang diam-diam senyum.
Kami jalan kaki ke masjid,
lewat pohon jambu dan batu yang dulu jadi mainanku.
Di sana, suara takbir menggetarkan udara,
seperti lagu yang aku belum hafal tapi suka dengar.
Aku tak tahu banyak tentang puasa enam hari
atau dosa yang dihapuskan.
Tapi aku tahu,
Syawal itu saat semua orang jadi lebih sayang.
Dan setiap peluk,
ada sesuatu yang sembuh diam-diam.
Sestoples Maaf
Aku datang
saat langit mulai tenang
dan bumi basah oleh air mata Ramadan.
Di tanah ini,
aku masuk lewat pintu rumah-rumah tua
yang masih menyimpan dupa, dan suara salam
yang patah-patah karena rindu.
Aku bukan sekadar hari raya.
Aku adalah jeda—antara luka dan pemulihan,
antara gengsi dan pelukan.
Aku menyaksikan:
ibu-ibu membungkus maaf dalam stoples kue kerawang,
lelaki yang diam-diam menangis di makam bapaknya,
anak rantau yang pulang tak hanya bawa koper
tapi juga keberanian untuk meminta maaf.
Aku Syawal,
bukan sekadar tanggal di kalender yang dicetak gembira,
tapi lorong sunyi tempat hati belajar berjalan lagi—
meski tertatih, meski sembunyi-sembunyi.
Aku bukan yang membuatmu pulang,
tapi yang diam-diam membuka pintu
bahkan ketika kamu belum berani mengetuk.
Kisah dari Belakang Dapur
Aku lahir di halaman belakang,
disambut butiran jagung dan tangan-tangan kecil
yang tak tahu bahwa suatu hari
aku akan jadi lauk di hari paling suci.
Syawal, bagiku,
adalah suara tawa dari ruang depan,
air kobokan yang hangat,
dan panci besar yang baunya mirip perpisahan.
Ramadan,
adalah saat mereka jadi lebih baik padaku:
makanku ditambah, kandangku dibersihkan,
bahkan doa sempat dipanjatkan sebelum pisau ditajamkan.
Tapi bukankah begitu juga manusia?
Disanjung dalam sujud,
lalu dilupakan begitu salam diucap.
Aku tidak marah.
Aku hanya ingin dikenang—
bukan sebagai lauk di atas nasi hangat,
tapi sebagai sesuatu yang juga pernah hidup
dan belajar pasrah dengan tenang.
Ah, Syawal...
tak semua yang berkorban
sempat disebut dalam doa.
(Syawal, 2025)