Aku adalah penjelajah yang tak dikenali, penyintas tanpa cerita yang layak didengar. Mata-mata manusia yang melintas hanya melihat kotoran, beban yang tak perlu ada. Tapi aku tetap bertahan, melangkah di atas jalanan kasar yang dipenuhi bayang-bayang. Aku bertanya-tanya, apakah ini semua hanya mimpi buruk yang tak pernah usai? Atau mungkin hidupku memang dimaksudkan untuk menjadi seperti ini: sunyi, terlupakan, dan kosong.
Pagi itu, aku mengendus-endus jalan setapak yang dipenuhi bau amis ikan dan aroma kuah kaldu. Pasar kampung mulai ramai, dan kakiku yang kotor bergerak lincah di antara kaki-kaki manusia. Mereka tak pernah benar-benar memperhatikan aku. Kadang ada yang menendangku pelan saat aku terlalu dekat, kadang ada yang mengumpat. Tapi aku tak peduli. Perutku kosong, dan itu adalah prioritas utamaku.
Aku bergerak lebih hati-hati, menghindari sepatu-sepatu besar yang hampir selalu tak peduli akan kehadiranku. Di satu sisi jalan, ada seorang ibu dengan keranjang berisi sayuran segar yang tampak menarik, tetapi aku tahu itu tidak akan memberiku apa-apa. Begitu juga dengan lapak penjual daging di sebelahnya. Semua itu tidak ada artinya bagi perutku yang merengek kelaparan. Aku terus berjalan, tak peduli, meski rasa lapar semakin menyakitkan.
Saat itu, mataku menangkap sesosok tubuh yang tampak menarik perhatian: sebuah warteg kecil yang tampaknya cukup ramai. Di dalamnya, ada banyak orang yang duduk mengelilingi meja dengan piring-piring yang penuh berisi makanan. Ikan goreng yang berkilau, sayuran rebus, dan kuah kaldu yang beraroma tajam. Bau ikan yang digoreng memancing air liurku. Perutku menjerit lebih keras. Aku harus mendapatkan sesuatu dari sana.
Berhati-hati, aku mendekati warteg itu, mengamati dengan cermat setiap pergerakan. Dari bawah meja kayu yang sudah lapuk, aku melihat remah-remah nasi dan potongan sayuran yang jatuh ke lantai. Beberapa pelanggan yang tidak sadar menyebarkan remah-remah itu ke tanah, memberi kesempatan kepadaku untuk menjilati atau menyambar sedikit makanan. Tetapi itu tidak cukup. Aku membutuhkan lebih banyak. Aku mengendus lagi, kali ini menatap tajam piring yang tersisa di meja. Di atas salah satunya, terdapat sepotong kepala ikan yang masih tersisa. Dagingnya hampir bersih, namun sisa-sisa yang menempel tetap menggugah rasa lapar yang menggerogoti. Aku tidak punya pilihan lain. Ini adalah kesempatan terbaik yang bisa aku dapatkan.
Saat itu, aku melihat seorang lelaki bangkit dari meja dan melangkah menuju pintu untuk memesan minuman. Ini adalah kesempatan emas. Aku bergerak cepat, kaki-kaki yang kotor menginjak lantai dengan gesit, dan dalam hitungan detik, aku sudah mencengkeram kepala ikan itu dengan cakarku. Aku segera menariknya dari piring, siap untuk berlari ke tempat yang lebih aman. Namun, tak ada yang bisa kulakukan sebelum suara keras menghentikan gerakanku.
“Hei, kucing sialan!” suara pemilik warteg itu terdengar menggema. Dia muncul dari balik dapur, wajahnya merah padam dengan ember di tangan. Tanpa memberi kesempatan aku untuk melarikan diri, cairan panas dari ember itu menghantam punggungku.
Aku menjerit, merasakan rasa panas yang membakar kulitku. Rasa itu seperti menyebar, menjalar dari punggungku hingga ke tulang. Aku melompat mundur, terkejut oleh rasa sakit yang luar biasa. Tapi aku tak punya waktu untuk merasakan kesakitan lebih lama. Aku berlari tanpa arah, menabrak kursi-kursi, kaki meja, dan tubuh manusia yang sedang terkejut. Semua itu hanya berlalu begitu saja. Aku tahu aku harus keluar dari tempat itu. Dengan tubuh yang gemetar, aku berhasil keluar ke luar warteg, berlari ke sudut pasar yang sepi. Di sana, di bawah sebuah pohon besar, aku berhenti. Bau hangus dari bulu-buluku yang terbakar mulai menusuk hidungku, memaksaku untuk mencoba menjilat punggungku. Tetapi setiap kali lidahku menyentuh kulit yang terluka, rasa sakit itu semakin menjadi. Aku tidak bisa melanjutkan. Aku hanya bisa berbaring di tanah, air mataku mengalir pelan. Apakah ini hukuman untukku? Atau hanya nasib yang tidak bisa aku hindari?
Ketika malam tiba, aku tidak bisa bergerak banyak. Rasa sakit masih membekas, dan tubuhku semakin lemah. Aku mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk mencari tempat berlindung yang aman. Jalan-jalan pasar sudah sepi, dan hanya suara angin yang terdengar. Tiba-tiba, langkah kaki kecil terdengar di dekatku. Aku mendongak, dan mataku tertuju pada seekor kucing Persia yang cantik. Bulunya putih bersih, lembut, dan tubuhnya tampak gemuk dan sehat. Ia duduk dengan anggun di dekat seorang perempuan muda yang sedang memberi makan. Bau ikan segar dari makanan di hadapannya menggoda hidungku. Kucing Persia itu tampaknya bahagia, dimanjakan dan diperhatikan. Aku melihatnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan—campuran antara iri dan rasa sakit yang mendalam. Mengapa aku tidak seperti dia? Mengapa dunia ini begitu tidak adil?
Aku melangkah pelan menuju kucing itu, berharap perempuan itu mungkin akan memberiku sedikit makanan, bahkan hanya sepotong kecil pun cukup. Tapi begitu perempuan itu melihatku, ekspresinya berubah. Wajahnya yang semula lembut berubah menjadi jijik.
“Ih, kotor sekali! Pergi sana!” ucapnya, sambil mengusirku.
Aku terkejut. Aku ingin berlari, tapi tubuhku terlalu lemah. Perempuan itu kembali memeluk kucing Persia itu, memberinya makanan dengan lembut, sementara aku hanya bisa menatap dari kejauhan. Perasaan kecewa itu menguasai diriku, dan aku berlari menjauh.
Aku kembali ke sudut pasar, tempat biasanya aku berlindung, meringkuk dengan tubuh yang semakin kotor dan lelah. Pikiranku dipenuhi rasa hampa. Apakah ada harapan bagi aku, seekor kucing yang terlupakan ini?
Namun, pada malam itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Suara kecil yang ceria datang menghampiriku.
“Kucing kecil, kamu kenapa?”
Aku menoleh, dan di depanku berdiri seorang anak perempuan. Dia terlihat kecil, dengan rambut dikepang dua. Matanya penuh rasa iba, dan ia berjongkok di depanku, tatapannya lembut. Aku ingin berlari, ingin menghindar dari perhatian orang lain, tapi tubuhku terlalu lemah. Dia mendekat perlahan, dan dengan hati-hati mengelus kepalaku. Sentuhannya lembut, penuh kasih sayang. Rasanya seperti ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhku, dan aku tidak ingat kapan terakhir kali seseorang menyentuhku seperti itu.
“Aku tahu kamu pasti lapar,” ujar anak itu dengan suaranya yang kecil namun penuh perhatian.
“Tunggu di sini, ya?”
Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan sepiring kecil nasi dan ikan. Aku mulai makan tanpa ragu, lidahku menyentuh makanan itu seolah tak percaya. Perutku yang telah kosong begitu lama akhirnya terisi, dan setiap gigitan memberi rasa kenikmatan yang tak terkatakan.
Di sampingku, anak itu duduk dengan senyuman kecil, mengawasi setiap gerakanku, dengan tatapan penuh kasih sayang. Sesekali, dia tertawa kecil melihatku makan dengan lahap. Aku merasa seperti seekor kucing yang sedang dilayani dengan penuh perhatian.
***
“Kamu sangat istimewa, Si Belang. Lihat betapa cantiknya kamu, meski bulu-bulumu berantakan.”
Aku terkejut mendengar nama itu, nama yang diberikan padaku dengan begitu tulus. Si Belang. Sebuah nama yang tidak hanya sekadar nama, tetapi seolah-olah memberi arti pada keberadaanku. Si Belang, kucing yang penuh warna, kucing yang memiliki kisahnya sendiri, kucing yang mungkin tak sempurna, namun tak kalah istimewa. Aku tahu aku tak akan pernah menjadi seperti kucing Persia itu. Buluku tak akan pernah sehalus sutra, dan tubuhku akan selalu penuh bekas luka. Tapi di mata anak itu, aku adalah kucing yang istimewa. Dan bagiku, itu sudah cukup.
Pagi itu terasa berbeda. Aku menunggunya di tempat biasa, di bawah meja kayu yang reyot. Hari mulai sore, dan rasa lapar menggigit perutku lagi. Aku bangkit, mencoba mencari jejaknya di antara keramaian pasar. Tapi aku tak menemukannya. Hanya suara-suara manusia, bau amis, dan rasa asing yang menggantung di udara. Aku kembali ke sudut tempat kami biasa bertemu, meringkuk di sana, menunggu.
Malam semakin larut, dingin meresap ke tulang. Apakah dia akan kembali? Atau mungkin, kali ini, aku telah kehilangan satu-satunya tangan yang mau menyentuhku? Aku memejamkan mata, bertanya dalam hati: apakah aku benar-benar pernah menjadi istimewa? Atau semuanya hanya sebuah kebetulan belaka?
Waktu bergerak pelan, dan aku tertidur di bawah bayang-bayang malam yang sunyi. Ketika fajar menyingsing, suara langkah kaki kecil membangunkanku. Aku mendongak dengan sisa tenaga terakhir. Apakah itu dia? Namun, di balik sinar matahari pagi, aku hanya bisa melihat siluet samar. Aku tak tahu siapa, tapi hatiku berbisik pelan:
tetaplah berharap.
Tolong air mataku deras skli membaca ini:(
BalasHapus